WHAT IS THE WORTH OF JESUS CHRIST?
“Then one of the Twelve - the one called Judas Iscariot - went to the
chief priests and asked, ‘What are you willing to give me if I hand
him over to you?’ So they counted out for him thirty silver coins.
From then on Judas watched for an opportunity to hand him over”
(Matthew 26:14-16 NIV).
Judas Iscariot is known for his nefarious act of betraying Jesus
Christ to Jewish leaders for the sum of thirty silver coins only. That
was the worth of Jesus Christ to him. He later regretted his action,
returned the money to the leaders and went to hang himself.
The worth of Jesus Christ varied to the other disciples and followers
of Jesus Christ. Joseph of Arimathea valued even the corpse of Jesus
Christ that he “wrapped it in a clean linen cloth, and placed it in
his own new tomb that he had cut out of the rock” (Matthew 27:59-60
NIV). He gave to Jesus was special to him because he valued Him
greatly. Mary Magdalene and the other women that had been serving Him
before His death were still loyal to Him even after His death. They
brought spices and perfume to anoint His body. Paul’s statement about
the worth of Jesus Christ is classic: “For to me, to live is Christ
and to die is gain” (Philippians 1:21 NIV). Jesus Christ worth the
whole life to Paul. No wonder, he later said, “I consider everything a
loss compared to the surpassing greatness of knowing Christ Jesus my
Lord, for whose sake I have lost all things. I consider them rubbish,
that I may gain Christ” (Philippians 3:8 NIV). Simon Peter had earlier
said similar thing: “We have left everything to follow you!” (Mark
10:28 NIV).
Jesus Christ does not worth a dime to many people. Like Judas, such
people do not care about what happen to Jesus Christ and the cause of
the Gospel. Such people may even be so-called Christians. Inasmuch as
their interest is not affected, they can sell Jesus Christ for any
amount. On the other hand, Jesus Christ is all the world to some
people. Like Paul and other faithful followers of Jesus Christ in the
Bible, such people are ready to give everything to Jesus Christ and
the cause of the Gospel.
What is the worth of Jesus Christ to you? Does He worth anything to
you? What can you give up or give away because of Jesus Christ?
Like Will L. Thompson (1847-1909), I have the courage to say, “Jesus is
all the world to me, and true to Him I’ll be; O how could I this
Friend deny, when He’s so true to me? Following Him I know I’m right,
He watches o’er me day and night; Following Him by day and night, He’s
my Friend.”
In His service,
Jumat, 22 Maret 2013
PERGERAKAN ALKITAB DI INDONESIA
kebanyakan orang di seluruh dunia.
Ada tiga alasan yang menjadi penghalang
sehingga isi Firman Allah itu umumnya
tidak dikenal oleh orang-orang biasa.
Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu
cara untuk memperbanyak salinan-salinan
Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi,
salinan-salinan Alkitab itu sangat langka
dan sangat mahal harganya.
Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada
zaman dahulu berpendapat bahwa jika
orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab
sendiri, pasti akan timbul banyak
tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran
mereka), lebih baik jika hak istimewa
untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja
oleh para rohaniawan.
Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada
zaman dahulu masih ditulis dalam
bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang
tidak dapat membacanya, pun tidak
dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh
orang lain.
Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga
alasan yang menjadi penghalang itu
berturut-turut dihapus.
Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh
orang-orang Barat (walau pada hakikatnya
orang-orang Timur sudah lebih dahulu
menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama
dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan
Alkitab menjadi jauh lebih mudah
diperoleh.
Kemudian timbul Reformasi Protestan di benua
Eropa. Gerakan pembaharuan gereja
itu menekankan bahwa tiap orang bertanggung
jawab kepada Allah atas keadaan
rohaninya. Jadi, belum cukuplah jika ia
mendengar tafsiran Alkitab yang
diberikan oleh orang lain; ia harus dapat
mempunyai Alkitab sendiri, serta harus
dapat mengerti isinya.
Tentu saja, untuk dapat mencapai maksud tadi,
Alkitab harus diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa yang biasa dipakai oleh
kebanyakan orang. Dan justru itulah
yang berlangsung di seluruh dunia, mulai pada
abad yang ke-16.
Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah
kitab yang bungkam untuk kebanyakan
orang di Nusantara. Memang sudah ada
orang-orang Kristen di sini: Kaum Kristen
Nestorian mulai datang ke kepulauan Indonesia
pada abad yang ke-12, dan kaum
Kristen Katolik mulai datang pada abad yang
ke-14. Tetapi Alkitab-Alkitab yang
mereka bawa itu tertulis dalam bahasa-bahasa
asing, yang sulit dipahami oleh
putra-putri Nusantara.
Ada juga halangan khusus di Nusantara yang
mencegah orang mempunyai dan membaca
Alkitab, yakni: Orang-orang yang tinggal di
berbagai-bagai pulau itu berbicara
dalam berbagai-bagai bahasa pula. Jika
seorang pelaut pergi berlayar di
Nusantara, belum tentu ia dapat
bercakap-cakap dengan orang-orang di pulau
tempat tujuannya.
Namun ada juga bahasa-bahasa yang umumnya
dipakai kalau putra-putri Nusantara
pergi ke pasar atau berdagang di pelabuhan.
Salah satu bahasa perniagaan itu
ialah bahasa Portugis; tetapi yang lebih umum
lagi ialah, bahasa Melayu (yang
sesungguhnya merupakan nenek moyang bahasa
Indonesia).
Anehnya, Alkitab mula-mula diterjemahkan ke
dalam bahasa Portugis, bukan di
negeri Portugis sendiri, melainkan di
Nusantara!
Pada pertengahan abad yang ke-17, seorang
anak laki-laki kecil dibawa dari
Portugis ke kota Malaka, di semenanjung
Melayu. Ketika ia masih berumur belasan
tahun, bocah itu mulai percaya kepada Tuhan
Yesus Kristus sebagai Juru
Selamatnya. Dan pada umur yang masih sangat
muda, mulailah dia menerjemahkan
seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa
ibunya. Kemudian, tatkala ia
pindah dari Malaka ke Jakarta, ia sempat
menyelesaikan terjemahannya itu. Ia
juga menerjemahkan sebagian besar dari Kitab
Perjanjian Lama.
Tetapi lambat laun penjajah bangsa Portugis
itu diusir dari seluruh Nusantara
oleh penjajah bangsa Belanda. Karena itu
makin lama makin sedikit orang yang
menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa
perdagangan antar pulau. Dan Alkitab
masih tetap merupakan sebuah kitab yang
bungkam untuk kebanyakan orang di
kepalauan Indonesia.
Anehnya, orang-orang yang mula-mula insaf
bahwa Firman Allah seharusnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukannya
para pendeta dan penginjil,
melainkan para pelaut dan pedagang. Pada
permulaan abad yang ke-17, seorang
pelaut Belanda bernama Houtman ditangkap dan
dipenjarakan oleh suku Aceh yang
pada waktu itu terkenal cukup garang. Selama
ditahan di Sumatera Utara, orang
Belanda itu sempat belajar bahasa Melayu.
Setelah dibebaskan, mulai pada tahun
1605 ia menerbitkan beberapa tulisan Kristen
yangg sudah diterjemahkannya ke
dalam bahasa Melayu.
Sementara itu, seorang pedagang bernama
Albert Cornelisz Ruyl berlayar dari
Belanda ke Indonesia pada tahun 1600. Ia
menyadari bahwa Alkitab perlu dibaca
oleh putra-putri Nusantara. Bahkan ia
membujuk rekan-rekan sekerjanya sampai
mereka rela membayar semua ongkos penerbitan
untuk proyek terjemahannya itu.
Pada tahun 1612 Ruyl sudah selesai mengalihbahasakan
seluruh Kitab Injil Matius
ke dalam bahasa Melayu. Tetapi baru tujuh
belas tahun kemudian, hasil karyanya
itu dicetak.
Dalam bahasa Melayu terjemahan Ruyl, Doa Bapa
Kami (Matius 6:9-13)
berbunyi sebagai berikut:
"Bappa kita, jang adda de surga:
Namma mou jadi bersakti.
Radjat-mu mendatang
kandhatimu menjadi
de bumi seperti de surga
Roti kita derri sa hari-hari membrikan kita sa hari inila.
Makka ber-ampunla pada-kita doosa kita,
seperti kita ber-ampun
akan siapa ber-sala kepada kita.
D’jang-an hentar kita kepada tjobahan,
tetapi lepasken kita dari jang d’jakat."
Hanya sebagian saja dari Alkitab yang sempat
diterjemahkan oleh A. C. Ruyl,
pedagang Belanda tadi. Lagi pula, bahasa
Melayu yang dipakainya itu sangat
jelek. Misalnya, ia belum mengerti perbedaan
antara "kita" dengan "kami."
Kemudian, pada pertengahan abad yang ke-17,
ada seorang pendeta Belanda bernama
Daniel Brouwerius yang mulai insaf bahwa
Alkitab mmasih merupakan sebuah kitab
yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara.
Ia pindah ke kepulauan
Indonesia dan berhasil menerjemahkan seluruh
Kitab Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Melayu.
Dalam terjemahan Daniel Bruwerius, yang
mula-mula diterbitkan pada tahun 1668,
Doa Bapa Kami berbunyi sebagai berikut:
"Bappa cami, jang adda de Surga,
Namma-mou jaddi bersacti.
Radjat-mou datang.
Candati-mou jaddi
bagitou de boumi bagaimana de surga.
Roti cami derri sa hari hari bri hari ini pada cami
Lagi ampon doossa cami,
bagaimana cami ampon
capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarrken cami de dalam tsjobahan
hanja lepasken cami derri jang djahat."
Memang Pdt. Brouwerius sudah dapat membedakan
"kita" dan "kami." Namun masih
banyak kesalahan dalam Perjanjian Baru bahasa
Melayu yang diterjemahkannya.
Apalagi, seluruh Perjanjian Lama masih tetap
merupakan sebuah kitab yang bungkam
untuk kebanyakan orang di Nusantara.
Tujuh tahun setelah Kitab Perjanjian Baru
terjemahan Brouwerius itu diterbitkan,
seorang pendeta tentara tiba di Jawa Timur.
Siapa namanya? Dr. Melchior
Leydekker. Di samping menjadi seorang
pendeta, ia juga seorang dokter. Pada
tahun 1678, Dr. Leydekker pindah lagi dari
jawa Timur ke Jakarta, dan tetap
tinggal di ibu kota selama sisa umurnya.
Dr. Leydekker menjadi pandai sekali
berkhotbah dalam bahasa Melayu. Jadi, pada
tahun 1691 dialah yang ditunjuk untuk mulai
menyiapkan suatu terjemahan seluruh
Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami di
seluruh Nusantara.
Selama sepuluh tahun Dr. Leydekker bekerja
dengan tekun. Terjemahan seluruh
Kitab Perjanjian Lama dihasilkannya. Lalu ia
terus mulai mengalih-bahasakan
Kitab Perjanjian Baru. Sayang, ia tidak
sempat menyelesaikan tugas yang mulia
itu: Ia meninggal pada tahun 1701, setelah
mengerjakan terjemahannya sampai
dengan Efesus 6:6.
Kutipan Doa Bapa Kami dari terjemahan bahasa
Melayu Dr. Melchior Leydekker di
bawah ini telah disusun kembali menurut ejaan
yang disempurnakan dan menurut
tanda-tanda baca yang modern. Dengan demikian
lebih jelaslah persamaannya dengan
ayat-ayat yang sama itu dalam terjemahan
biasa bahasa Indonesia:
"Bapa kami yang di sorga,
namaMu dipersucilah kiranya
KerajaanMu datanglah.
KehendakMu jadilah,
seperti di dalam sorga, demikianlah di atas bumi.
Roti kami sehari berilah akan kami pada hari ini.
Dan ampunilah pada kami segala salah kami,
seperti lagi kami ini mengampuni
pada orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami kepada percobaan
hanya lepaskanlah kami daripada yang jahat."
Salah seorang rekan Dr. Leydekker almarhum
ditunjuk untuk menyelesaikan
tugasnya, sehingga pada tahun 1701 itu juga
sudah ada Firman Allah yang lengkap
dalam bahasa Melayu. Namun Alkitab masih
tetap merupakan sebuah kitab yang
bungkam untuk putra-putri Nusantara. Mengapa
sampai terjadi demikian?
Pada masa Melchior Leydekker masih menjadi
seorang mahasiswa kedokteran dan
kependetaan di Belanda, lahirlah di negeri
itu seorang anak laki-laki dalam
keluarga seorang pembantu kepala sekolah.
Anak laki-laki itu lahir pada tahun
1965 dan diberi nama Francois Valentyn.
Rupa-rupanya ia seorang pemuda yang
pandai, karena ia baru mencapai umur 20 tahun
ketika ia diizinkan meninggalkan
kuliah teologinya serta pergi ke Maluku
sebagai seorang pendeta. Rupa-rupanya ia
juga cepat mahir dalam bahasa Melayu: Menurut
kesaksiannya sendiri, ia sudah
sanggup berkhotbah dalam bahasa setempat
setelah belajar hanya tiga bulan
lamanya.
Pada suatu hari, kebetulan seorang pendeta
tua datang ke Ambon dan menginap di
tempat tinggal pendeta yang masih muda tadi.
Sang pendeta tua membawa serta
sebuah naskah besar. "Warisan,"
katanya. "Naskah ini dulu ditulis oleh seorang
pendeta yang meninggal sepuluh tahun yang
lalu. Kemudian sang janda memberikan
naskah ini kepadaku.
Secara tidak terduga pendeta tua itu
meninggal pada waktu ia bertemu di rumah
pastori di Ambon. Maka Naskah kuno itu jatuh
ke dalam tangan Pdt. Francois
Valentyn. Ketika diperiksa, ternyata tulisan
tangan itu adalah terjemahan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu!
Pdt. Valentyn adalah seorang yang rajin. Ia
rajin menyelidiki bahasa dan
kebudayaan orang Maluku. Dan ia pun rajin
mencari teman-teman baru di tempat
pelayanannya. Salah seorang teman barunya itu
adalah seorang janda kaya. Setelah
menikah dengan janda itu, Pdt. Valentyn
kembali ke tanah airnya pada tahun 1695.
Naskah kuno itu pun dibawa ke Belanda.
Kemudian, pada permulaan abad yang ke-18
diumumkan bahwa Dr. Melchior Leydekker
almarhum (dengan bantuan salah seorang
rekannya) telah berhasil menerjemahkan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu.
Mungkinkah Pdt. Francois Valentyn menjadi iri
hati? Mungkinkah ia berkeinginan
supaya dia saja yang dihormati (dan bukan
orang-orang yang sudah meninggal)
sebagai penerjemah yang pertama-tama
menghasilkan seluruh Firman Allah dalam
bahasa Nusantara?
Bagaimanapun juga, Pdt. Valentyn mulai
mempromosikan dirinya sebagai penerjemah
naskah kuno seluruh Alkitab itu (yang hanya
kebetulan saja ada di dalam
tangannya). Katanya, terjemahan itu juga
lebih baik, jauh lebih modern, bahkan
jauh lebuh mudah dipahami terjemahan Dr.
Leydekker.
Tentu saja umat Kristen menjadi bingung. Baik
di Belanda maupun kepulauan
Indonesia, ada orang-orang yang lebih setuju
dengan terjemahan Valentyn, tetapi
ada juga orang-orang yang lebih setuju dengan
terjemahan Leydekker. Akibatnya,
kedua terjemahan itu tidak jadi diterbitkan.
Dan sekali lagi, selama berpuluh-puluh
tahun, Alkitab masih tetap merupakan sebuah
kitab yang bungkam untuk kebanyakan
putra-putri Nusantara.
Akhirnya duduk perkaranya terungkap dengan
jelas. "Terjemahan Valentyn" itu
diselidiki dan dinyatakan sebagai hasil karya
orang lain. Lagi pula, terjemahan
itu dinilai sangat jelek.
Akan tetapi sementara perselisihan pendapat
itu masih berlangsung, sudah lewat
juga dua puluh tahun lebih. Ada orang-orang
yang merasa bahwa terjemahan
Leydekker tidak lagi sesuai dengan perkembangan
zaman. Maka pada tahun 1723
sebuah panitia ditunjuk untuk menyunting
kembali naskah terjemahannya itu.
Selama enam tahun mereka mengerjakan edisinya
yang baru.
Menjelang tahun 1729, naskah terjemahan baru
dari Alkitab lengkap itu dua kali
disalin dengan tulisan tangan: sekali dalam
huruf Latin, dan sekali lagi dalam
huruf Arab. Kedua naskah itu masing-masing
dikirim ke Belanda dalam dua kapal
yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan
harapan bahwa walau satu naskah jadi
hilang di dasar laut, namun naskah yang
satunya lagi itu masih akan tiba dengan
selamat. Salah seorang penyuntingnya juga
berlayar ke tanah airnya, untuk
mengawasi proyek penerbitan yang besar itu.
Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker
keluar pada tahun 1731. Lalu Alkitab
lengkap terjemahan Leydekker diterbitkan pada
tahun 1733. Maka akhirnya juga
Firman Allah tidak lagi bungkam dalam bahasa
Nusantara!
TAMAT
ALKITAB YANG MEMBISU
Di daerah Palestina dua ribu tahun yang lalu,
orang membuat kitab bukan dengan
kertas, melainkan dengan kulit kambing yang
sudah disamak. Jadi, pada waktu
seorang juru tulis Palestina yang kenamaan
hendak menyalin sebuah kitab, ia pun
terlebih dahulu memesan gulungan kulit. Kulit
itu disiapkan secara istimewa oleh
seorang penyamak kulit yang ahli.
Juru tulis kenamaan itu sangat memperhatikan
gulungan yang dipesannya, karena ia
sedang menghadapi suatu tugas yang sangat
penting: Ia akan menyalin seluruh
Kitab Nabi Yesaya denngan tulisan tangannya
sendiri!
Di atas meja tulisnya sudah tersedia berbagai
alat tulisnya: beberapa buluh rawa
yang diruncingkan dan semacam dawat khusus yang
dipakainya sebagai tinta. Dengan
memakai dawat itu, tulisan pada kulit kambing
dapat tahan tanpa menjadi luntur
untuk bertahun-tahun lamanya.
Setelah segala alat tulisnya siap, juru tulis
kenamaan itu mulai bekerja. Dengan
teliti ia menyalin kata demi kata pada
lajur-lajur sempit yang membujur di
gulungan panjang itu. Jam demi jam, hari demi
hari, minggu demi minggu ia
bekerja dengan tekun.
Akhirnya selesailah salinan seluruh Kitab
Nabi Yesaya. Kedua ujung naskah yang
tertulis pada gulungan kulit itu
masing-masing dilekatkan pada dua batang kayu,
supaya mudah dibuka untuk dibaca. Bila tidak
dipakai, naskah itu digulung dari
kedua ujungnya sampai tertutup dengan rapat,
lalu diikat dan disimpan dalam
perpustakaan.
Penyamak kulit ahli sudah menyediakan sebuah
gulungan kulit kambing lagi, maka
juru tulis kenamaan itu bekerja terus. Segera
ia mulai menyalin sebuah kitab
lain lagi dari Perjanjian Lama. Sedikit
sekali orang yang semahir dia; sedikit
sekali orang yang seteliti dia bila sedang
membuat salinan baru dari naskah
kuno. Semua gulungan naskah dari kulit hasil
karyanya itu dipakai berkali-kali
dalam kebaktian serta penyelidikan Alkitab,
dan selalu dipelihara baik-baik.
Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun
sudah lewat. Bangsa Romawi sudah
mulai menjajah daerah Palestina.
Sekelompok ahli Taurat mengungsi ke suatu
daerah yang terpencil di dekat Laut
Mati. Di situ bukit-bukitnya gersang dan ada
banyak gua, tempat binatang buas
membuat liangnya dan lebah hutan menyimpan
madunya. Di situ pula ahli-ahli
Taurat itu membangun semacam benteng, dengan
memakai batu-batu pegunungan yang
ada disekitar mereka.
Di dalam benteng itu mereka membentuk suatu
mazhab agama Yahudi tersendiri, yang
hidup terasing di pegunungan. Mereka
mendirikan semacam persekutuan
persaudaraan, dan hidup sebagai biarawan.
Walau ada kerusuhan di dunia luar,
namun mereka terus menyelidiki Kitab
Perjanjian Lama dari gulungan-gulungan
kulit.
Di antara orang-orang itu ada seorang ahli
perpustakaan. Dialah yang bertugas
memelihara gulungan-gulungan kitab yang
banyak sekali itu. Di samping itu ia pun
mencatat hikayat tentang cara hidup para
anggota persekutuan persaudaraan.
Masa itu memang suatu masa yang penuh
kerusuhan. Ahli perpustakaan itu makin
lama makin cemas. Ia mulai berpikir: Bagaimanakah
kalau orang-orang Romawi atau
musuh-musuh lain datang menyerbu benteng
kita? Lalu timbul kecemasan lain lagi
dalam benaknya: Bagaimanakah aku dapat
menyelamatkan gulungan-gulungan kulit
yang sangat berharga ini? Di manakah tempat
yang paling aman?
Sesudah ia menjelajahi seluruh daerah
pegunungan yang gersang itu, akhirnya ia
menemukan suatu tempat yang aman. Di sebuah
bukit yang terpencil ada beberapa
gua. Gua-gua itu kelihatan kecil, tetapi
setelah ia menyelinap masuk melalui
celah gunung yang sempit, ternyata ruang di
dalamnya cukup luas, lagi bersih dan
kering.
Sesudah ia menjelajahi seluruh daerah
pegunungan yang gersang itu, akhirnya ia
menemukan suatu tempat yang aman. Di sebuah
bukit yang terpencil ada beberapa
gua. Gua-gua itu kelihatannya kecil, tetapi
setelah ia menyelinap masuk melalui
celah gunung yang sempit, ternyata ruang di
dalamnya cukup luas, lagi bersih dan
kering.
Ahli perpustakaan itu pulang dan melaporkan
hasil penjelajahannya. Lalu para
anggota persekutuan itu setuju bahwa
gulungan-gulungan kulit milik mereka
sebaiknya disembunyikan di gua-gua. Nanti
sesudah bahaya peperangan lewat,
mereka dapat megambilnya kembali.
Maka gulungan Kitab Nabi Yesaya itu diambil
dari tempat penyimpannya di
perpustakaan, bersama dengan ratusan naskah
lainnya, besar dan kecil. Tiap kitab
gulungan diikat baik-baik, serta dimasukkan
ke dalam sebuah tempayan dari tanah
liat. Ada yang disembunyikan dalam gua yang
satu, dan ada yang disembunyikan
dalam gua yang lain. Selain para anggota
persekutan persaudaraan itu, tidak
seorang pun yang tahu di manakah mereka
menyimpan harta mereka.
Akhirnya bahaya itu betul-betul datang. Biara
berupa benteng itu dihancurkan,
dan para anggota persekutuan persaudaraan
dibunuh. Jadi, tidak ada seorang pun
yang masih hidup, yang tahu adanya
naskah-naskah yang tersembunyi itu.
Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan
beratus-ratus tahun sudah lewat. Di
dalam gua-gua yang gelap, tempayan-tempayan
tanah liat itu masih tetap
melindungi harta yang tersembunyi. Kadang-kadang
ada yang pecah karena ada batu
yang jatuh dari langit-langit gua, dan naskah
yang sudah lapuk itu pun hancur.
Tetapi gulungan Kitab Nabi Yesaya masih tetap
utuh. Hanya saja, . . .
mungkinkah mata manusia akan sempat
membacanya lagi?
Sementara itu, di dunia luar ada juga
salinan-salinan Kitab Nabi Yesaya, tetapi
kurang lengkap. Tidak semua juru tulis
seteliti juru tulis kenamaan yang pernah
membuat salinan kitab gulungan itu ribuan
tahun yang lampau! Di sana sini ada
bagian-bagian kecil yang rupa-rupanya salah
tulis atau dilompati, sehingga orang
yang menyelidiki kitab itu sulit mengerti
ayat-ayat tertentu. Kata-kata nabi itu
seakan-akan tidak ada artinya lagi.
Pada tahun 1947, dua tahun setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia,
dan hampir dua ribu tahun setelah
naskah-naskah gulungan kulit itu
disembunyikan, daerah Palestina dikuasai oleh
Kerajaan Yordania.
Pada suatu hari seorang anak laki-laki yang
menjadi gembala pergi mencari madu
hutan di gua-gua dekat Laut Mati. Alangkah
herannya ia melihat tempayan-tempayan
yang berderet-deret di salah satu gua itu!
Melalui celah-celah tempayan yang
sudah retak, anak gembala itu dapat melihat
gulungan-gulungan kulit yang sudah
hampir dua puluh abad umurnya. Ia berlari
pulang dan memberitahu keluarganya
tentang hal luar biasa yang baru ditemukannya
itu.
Tidak lama kemudian, sampailah salah satu
gulungan kulit itu di kota Yerusalem.
Para sarjana memandangnya dengan kagum.
Mereka berusaha membukanya, tetapi tidak
dapat. Kulitnya sudah terlalu tua dan terlalu
lapuk. Sentuhan sedikit saja akan
menghancurkannya.
Gulungan kulit itu harus diselamatkan, agar
tulisan di dalamnya dapat dibaca!
Dengan segala pengetahuan ilmiah modern, para
ahli mencari daya untuk dapat
membukanya. Mereka menggunakan uap air panas,
zat-zat kimia, mikroskop, lampu-
lampu khusus, dan kamera. Sedikit demi
sedikit pekerjaan yang amat sulit itu
terlaksana.
Betapa sukacitanya hati mereka: Gulungan
kulit itu adalah salinan seluruh Kitab
Nabi Yesaya! Belum pernah manusia melihat
sebuah kitab yang setua atau sebagus
itu.
Mungkinkah kitab itu lebih tua daripada
salinan-salinan Kitab Nabi Yesaya yang
sudah biasa dipakai sebagai dasar terjemahan
Alkitab? Mungkinkah kata-kata yang
kurang masuk akal itu ternyata disebabkan
oleh kekhilafan seorang juru tulis
dahulu kala?
Para sarjana Alkitab mulai mencocokkan
bagian-bagian yang belum mereka pahami
dalam salinan-salinan Kitab Nabi Yesaya yang
sudah ada di dalam tangan mereka,
dengan bagian-bagian yang sama dalam naskah
pada gulungan kulit itu.
"Nah, inilah dia! Di sini!"
demikianlah seru salah seorang sarjana Alkitab
dengan girang. "Lihat! Di sini ada
sebagian kecil yang kurang pada salinan kita.
Ada beberapa kata yang terlewat!"
Sekarang mereka mengerti mengapa beberapa
ayat dari Kitab Nabi Yesaya itu
tadinya kurang masuk akal, sebab ada beberapa
kata yang tidak tertulis. Rupa-rupanya
pernah ada seorang penyalin yang memang
kurang teliti.
Tahulah para sarjana Alkitab bahwa gulungan
naskah dari bukit-bukit di dekat
Laut Mati itu merupakan harta yang tak
ternilai harganya. Dengan bantuan
gulungan itu, ada sebanyak tiga belas tempat
di dalam Kitab Nabi Yesaya di mana
terjemahan-terjemahan yang kurang tepat dapat
diperbaiki.
Orang-orang terus berdatangan ke daerah
pegunungan di dekat Laut Mati itu, dan
terus mencari. Betul, sebagaimana mereka
sangka, di dalam gua-gua di bukit-bukit
yang gersang itu masih terdapat beratus-ratus
gulungan kulit lainnya.
Semuanya diamankan. Oleh karena naskah-naskah
itu sudah sangat tua dan sangat
lapuk, maka semuanya harus disimpan dengan
hati-hati. Ada yang diberi tanda:
"Jangan dipegang!" Bahkan ada yang
diberi tanda: "Dilarang bernapas di atas
gulungan ini!"
Gulungan-gulungan yang disalin pada masa
lampau oleh seorang juru tulis kenamaan
serta disembunyikan oleh para anggota
persekutuan persaudaraan itu telah menjadi
harta yang sangat berharga. Pada masa lampau
mereka sendiri tidak menyangka
bahwa benda-benda itu akan tetap tersembunyi
selama dua ribu tahun. Tetapi pada
masa sekarang naskah-naskah yang tertulis di
atas kulit itu dapat digunakan
untuk memperkaya pengertian Alkitab di
seluruh dunia.
TAMAT
Langganan:
Postingan (Atom)