GEREJA YANG TIDAK MEMPUNYAI ALKITAB
Hampir
dua abad yang lalu, Kerajaan Inggris Raya mulai melebarkan sayapnya ke
benua
Asia. Masa itu kita kenal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia masa
Gubernur
Raffles yang tersohor.
Pada
masa itu juga, yakni pada tahun 1806, ada seorang pendeta tentara Inggris
Raya
yang baru tiba di negeri India bagian barat. Namanya, Pdt. Claudius
Buchanan.
Di
negeri India bagian barat itu, ada pohon-pohon palem yang menjulang tinggi,
seolah-olah
hendak mencakar langit biru. Tetapi di sana ada pula angin bohorok
yang
amat panas, sehingga semua penduduk suka berlindung di dalam rumah.
"Wah,
panas sekali negeri India ini!" gumam Pdt. Claudius Buchanan. "Memang
aku
sudah
diberitahu sebelumnya. Namun sama sekali belum terlintas pada pikiranku
bahwa
betul-betul ada benua yang cuacanya sepanas ini."
Ada
rekan-rekan Pdt. Buchanan yang sudah lama tinggal di negeri India bagian
barat.
"Nanti musim kemarau ini akan menjadi lebih panas lagi, Pak, baru
kemudian
akan tiba musim hujan," demikianlah mereka menjelaskan. "Maukah Bapak
pulang
lagi ke negeri Inggris? Ada kapal yang akan berangkat minggu depan."
Claudia
Buchanan mendesah. Tidak mungkin ia dapat segera pulang ke tanah airnya
yang
hijau dan sejuk itu. Ada tugasnya di negeri India yang belum selesai; ia
bertekad
menunaikan tugasnya itu sebagai seorang pendeta tentara.
Bulan-bulan
terus berlalu. Pendeta dari negeri Inggris itu menjadi lebih betah
tinggal
di tempat yang cuacanya demikian panasnya. Ia pun mulai belajar bahasa
setempat,
serta mulai menyelidiki cara hidup para penduduk negeri India bagian
barat.
Lalu
Claudius Buchanan menemukan salah satu fakta yang paling menarik yang
pernah
diketahuinya: Ia menemukan bahwa di Travancore, daerah pantai barat itu,
ada
gereja-gereja yang amat tua, milik orang-orang India sendiri.
Sebelumnya,
Pdt. Buchanan mengira bahwa tidak ada gereja sama sekali di negeri
India kecuali gereja-gereja yang
didirikan oleh para utusan Injil yang datang
dari negara lain. Misalnya, di
Calcutta dan sekitarnya ada jemaat-jemaat Baptis
yang baru ditanam oleh Dr. William
Carey dan rekan-rekannya.
Namun ternyata di India sudah ada
sekelompok anggota gereja-gereja kuno yang
biasanya diberi nama julukan: kaum
Kristen Santo Tomas. Cara berbakti mereka itu
agak mirip dengan cara berbakti
Gereja Katolik Roma. Ada pastor-pastor yang
memimpin kebaktian mereka serta
mengajar para anggota jemaat mereka.
"Tetapi benua India ini tidak
biasa dikenal sebagai negeri Kristen," kata Pdt.
Buchanan, masih bingung. "Benua
India biasa dikenal sebagai negeri kafir,
bukan?"
"Memang betul, Tuan
Pendeta," kata para orang Kristen Santo Tomas itu. "Namun
demikian, di pantai barat ini ada
juga gereja-gereja yang sudah ada sejak waktu
Santo Tomas sendiri datang dan
mengabarkan Injil kepada nenek moyang kami."
Dengan bangga mereka pun
menambahkan: "Mungkin aliran gereja kami merupakan
aliran Kristen yang paling tua di
seluruh dunia."
Mereka
memperlihatkan gedung-gedung ibadah mereka kepada pendatang baru dari
negeri
Inggris itu. Pada dinding-dindingnya terukir tulisan-tulisan. Para ahli
sastra
memberitahu Pdt. Buchanan bahwa tulisan-tulisan itu memang sudah lebih
dari
seribu tahun umurnya. Ada juga tanda-tanda salib di menara-menara gereja
yang
sama tuanya.
Kalau
gedung gerejanya begitu tua, demikianlah Claudius Buchanan berpikir, pasti
sejarah
jemaat yang mula-mula terbentuk di sini jauh lebih tua lagi. Boleh jadi
aliran
gereja ini sudah dimulai beratus-ratus tahun sebelum ada pembangunan
gedung
ibadah. Mungkinkah . . . mungkinkah Rasul Tomas, yang dua ribu
tahun
yang lalu pernah mengikuti Tuhan Yesus berjalan pada lorong-lorong berdebu
di
Galilea dan Yudea itu, . . . mungkinkah kemudian ia benar-benar
bepergian
sejauh India ini? Mungkinkah ia pun berjalan menelusuri lorong-lorong
berdebu
di negeri India bagian barat untuk memberitakan Kabar Baik tentang kasih
Tuhan?
Claudius
Buchanan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benaknya
itu.
Tetapi jawaban orang-orang Kristen di India bagian barat itu hanyalah
sejauh
ini saja: "Kami kurang tahu, Tuan Pendeta. Namun sejak dahulu kala kami
selalu
disebut dengan nama julukan ‘kaum Kristen Santo Tomas’. Dan kami sendiri
memang
percaya bahwa Santo Tomas pernah datang kemari. Aliran kami lebih tua
lagi
daripada semua catatan yang tertulis dalam sejarah gereja."
Pdt.
Buchanan terus menyelidiki gereja-gereja kuno itu. Ternyata keadaannya
kurang
baik. Tidak ada petobat-petobat baru yang menjadi anggota-anggota gereja.
Tidak
ada bukti bahwa anggota-anggota gereja yang sudah lama itu suka menjalani
hidup
menurut ajaran-ajaran Firman Tuhan.
Pada
suatu hari Pdt. Buchanan sedang bercakap-cakap dengan para pastor. "Ada
Alkitab
di gereja Bapak-Bapak?" tanyanya.
"O
ya, ada, Tuan Pendeta," demikianlah mereka menjawab sambil tersenyum.
"Kami
memang
punya beberapa salinan seluruh Alkitab. Tetapi semuanya ditulis dalam
bahasa
Siria kuno. Tidak ada seorang pun di sini yang biasa berbicara dalam
bahasa
itu lagi. Kadang-kadang kami membacakan ayat-ayat dari Alkitab bahasa
Siria
itu dalam kebaktian. Tetapi hanya kami sendiri yang dapat mengerti
maknanya,
jadi kurang berguna membacakannya kepada jemaat."
Memang
kurang berguna! kata Claudius Buchanan pada dirinya sendiri. Bagaimanakah
sebuah
gereja dapat maju, tanpa adanya Firman Tuhan dalam hati para anggotanya?
Dengan
suara keras ia pun bertanya: "Mengapa Bapak-Bapak tidak menerjemahkan
Alkitab,
sehingga para anggota jemaat dapat memahami isinya?"
"Menerjemahkan
Alkitab!" Kelihatannya para pastor itu kaget, bahkan sedikit
tersinggung.
"Maksud Tuan Pendeta, memindahkan isi Kitab Suci dari bahasa kuno
ke
dalam bahasa lain? Wah, belum pernah kami dengar kalau ada Alkitab yang dapat
dipahami
oleh rakyat biasa!"
Claudia
Buchanan mengeluarkan Alkitabnya sendiri. "Ini, Bapak-Bapak, lihat saja
ini."
Para pastor melihatnya dengan terheran-heran. "Inilah Alkitab yang telah
diterjemahkan
ke dalam bahasaku, yaitu bahasa rakyat biasa di negeri Inggris,
tanah
airku. Seharusnya anggota-anggota gereja di sini juga diperbolehkan
mempunyai
Alkitab dalam bahasa mereka sendiri."
"Bahasa
mereka sendiri!" para pastor membeo lagi. "Maksud Tuan Pendeta,
bahasa
Malayalam?
bahasa orang Travancore?
Tentu
saja," jawab Pdt. Buchanan. "Bukankah bahasa Malayalam itu bahasa
sehari-hari
orang
Travancore yang tinggal di sini?"
Sulit
sekali membuat para pastor itu terbujuk olehnya! Sampai saat itu, mereka
menganggap
Alkitab sebagai semacam kitab kramat, yang hanya boleh dibuka dengan
penuh
khidmat dalam upacara ibadah agung, dan hanya boleh diucapkan dalam bahasa
kuno
oleh kaum rohaniawan yang sanggup membacakannya. Belum pernah mereka dengar
bahwa
isi Alkitab itu seharusnya masuk ke dalam pikiran dan hati manusia, dan
bukan
hanya masuk ke dalam telingannya saja.
Claudius
Buchanan terus mendesak. Akhirnya kaum pastor itu mengalah. "Baiklah!
Kami
akan melakukannya," mereka mengiakan. "dan kami akan mulai dengan
keempat
Kitab
Injil, yang menceritakan masa pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini."
Maka
para pastor duduk menghadap terjemahan Alkitab dalam bahasa Siria kuno itu,
yakni
Alkitab yang hanya dapat dipahami oleh mereka sendiri. Dengan susah payah
mereka
mulai menerjemahkan Kitab Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Kalimat
demi
kalimat, pasal demi pasal, Kitab Injil demi Kitab Injil, tugas itu mereka
laksanakan.
Seluruh
isi keempat Kitab Injil itu ditulis dalam bahasa sehari-hari penduduk
Travancore,
yaitu penduduk daerah pantai di India bagian barat. Lalu para pastor
membawa
naskah tulisan tangan itu ke kota Bombay, karena di sana ada percetakan.
Claudius
Buchanan pun ada di kota Bombay, dan dialah yang mengawasi proyek
penerbitan
itu.
Pada
tahun 1811, hanya lima tahun setelah Pdt. Buchanan mula-mula menemukan
gereja
yang tidak mempunyai Alkitab itu, terbitlah sudah keempat Kitab Injil
dalam
bahasa Malayalam.
Alangkah
gemparnya semua orang Kristen di negeri India bagian barat, ketika
salinan-salinan
keempat Kitab Injil itu tiba di Travancore! Pada hari yang indah
dan
tak terlupakan itu, para pastor berdiri di gereja dan membacakan kepada
jemaat
dalam bahasa mereka sendiri, tentang Tuhan Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
"Wah,
ini sesuatu yang baru!" seru para anggota gereja. "Ini benar-benar
Kabar
Baik!"
Kemudian
mereka dan pemimpin mereka mulai membandingkan ajaran dan cara hidup
gereja
mereka dengan isi Kitab Perjanjian Baru.
"Sudah
jelas, kita harus berubah," mereka memutuskan. "Kita harus mengikuti
ajaran-ajaran
Tuhan Yesus, dan bukan hanya mengikuti adat-istiadat bangsa kita
saja."
Maka
mulailah terjadi suatu perubahan besar dalam aliran gereja yang amat kuno
itu.
Begitu menyeluruh perubahan itu sehingga mereka mengangkat suatu nama baru,
berdasarkan
nama julukan yang sudah lama diberikan kepada mereka.
Pada
masa kini aliran gereja yang kuno itu dengan resmi disebut: Gereja Mar
Thoma
sebagai peringatan bagi Rasul Tomas yang diperkirakan sebagai orang yang
mula-mula
membawa ajaran-ajaran Tuhan Yesus ke negeri India bagian barat. Gereja
itu
masih tetap dibimbing oleh ajaran-ajaran yang sama, karena Alkitab dalam
bahasa
mereka sendiri dibacakan setiap kali ada kebaktian umum. Lagi pula, pada
masa
kini aliran gereja yang kuno itu telah menjadi giat menyampaikan Kabar Baik
kepada
orang-orang lain.
Salinan-salinan
Alkitab bahasa Malayalam itu terdapat bukan hanya di dalam
gedung-gedung
Gereja Mar Thoma, melainkan juga di dalam rumah-rumah para
anggota.
"Kami senang mempunyai Alkitab sendiri-sendiri," kata mereka.
"Bagaimana
kami dapat tahu kehendak Tuhan tentang cara hidup kami, kecuali jika
kami
dapat membaca ajaran-ajaran Alkitab?"
Dulu,
ketika gerakan pembaharuan baru dilancarkan dalam aliran gereja yang kuno
itu,
Pdt. Claudius Buchanan juga merasa tergugah oleh pengalamannya yang luar
biasa.
Ia menyampaikan sebuah khotbah yang berjudul: "Bintang di Timur."
Sambil
berkhotbah
ia menyamakan orang-orang India yang mencari Tuhan itu, dengan para
orang
Majus yang datang dahulu kala dari benua sebelah Timur ke Betlehem dengan
dipimpin
oleh sebuah bintang. Dan sesungguhnya para orang Majus itu pun dipimpin
oleh
penjelasan kata-kata nubuat dari Firman Tuhan.
Khotbah Pdt. Buchanan itu kemudian
diterbitkan dan diedarkan ke mana-mana.
Banyak orang Kristn yang menyambut
himbauan Pdt. Buchanan, termasuk Adoiram
Judson, utusan Injil perintis ke
negeri tetangga kita, Myanmar (Birma).
Jadi, "Gereja yang Tidak
Mempunyai Alkitab" itu telah menjadi sebuah gereja yang
hidup menurut Alkitab. Aliran gereja
di negeri India bagian barat itu tidak lagi
seolah-olah tertidur atau hanya
sekedar memelihara adatnya yang kuno. Gereja Mar
Thomas telah menjadi suatu berkat
bagi anggota-anggotanya, juga bagi orang-orang
lain di dunia ini yang belum sempat
mendengar Kabar Baik tentang Tuhan Yesus.
TAMAT