Jumat, 22 Maret 2013

PERGERAKAN ALKITAB DI INDONESIA


Berabad-abad lamanya, Alkitab merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk
kebanyakan orang di seluruh dunia.

Ada tiga alasan yang menjadi penghalang sehingga isi Firman Allah itu umumnya
tidak dikenal oleh orang-orang biasa.

Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu cara untuk memperbanyak salinan-salinan
Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi, salinan-salinan Alkitab itu sangat langka
dan sangat mahal harganya.

Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada zaman dahulu berpendapat bahwa jika
orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab sendiri, pasti akan timbul banyak
tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran mereka), lebih baik jika hak istimewa
untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja oleh para rohaniawan.

Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada zaman dahulu masih ditulis dalam
bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang tidak dapat membacanya, pun tidak
dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh orang lain.

Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga alasan yang menjadi penghalang itu
berturut-turut dihapus.

Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh orang-orang Barat (walau pada hakikatnya
orang-orang Timur sudah lebih dahulu menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama
dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan Alkitab menjadi jauh lebih mudah
diperoleh.

Kemudian timbul Reformasi Protestan di benua Eropa. Gerakan pembaharuan gereja
itu menekankan bahwa tiap orang bertanggung jawab kepada Allah atas keadaan
rohaninya. Jadi, belum cukuplah jika ia mendengar tafsiran Alkitab yang
diberikan oleh orang lain; ia harus dapat mempunyai Alkitab sendiri, serta harus
dapat mengerti isinya.

Tentu saja, untuk dapat mencapai maksud tadi, Alkitab harus diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang. Dan justru itulah
yang berlangsung di seluruh dunia, mulai pada abad yang ke-16.

Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan
orang di Nusantara. Memang sudah ada orang-orang Kristen di sini: Kaum Kristen
Nestorian mulai datang ke kepulauan Indonesia pada abad yang ke-12, dan kaum
Kristen Katolik mulai datang pada abad yang ke-14. Tetapi Alkitab-Alkitab yang
mereka bawa itu tertulis dalam bahasa-bahasa asing, yang sulit dipahami oleh
putra-putri Nusantara.

Ada juga halangan khusus di Nusantara yang mencegah orang mempunyai dan membaca
Alkitab, yakni: Orang-orang yang tinggal di berbagai-bagai pulau itu berbicara
dalam berbagai-bagai bahasa pula. Jika seorang pelaut pergi berlayar di
Nusantara, belum tentu ia dapat bercakap-cakap dengan orang-orang di pulau
tempat tujuannya.

Namun ada juga bahasa-bahasa yang umumnya dipakai kalau putra-putri Nusantara
pergi ke pasar atau berdagang di pelabuhan. Salah satu bahasa perniagaan itu
ialah bahasa Portugis; tetapi yang lebih umum lagi ialah, bahasa Melayu (yang
sesungguhnya merupakan nenek moyang bahasa Indonesia).

Anehnya, Alkitab mula-mula diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, bukan di
negeri Portugis sendiri, melainkan di Nusantara!

Pada pertengahan abad yang ke-17, seorang anak laki-laki kecil dibawa dari
Portugis ke kota Malaka, di semenanjung Melayu. Ketika ia masih berumur belasan
tahun, bocah itu mulai percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru
Selamatnya. Dan pada umur yang masih sangat muda, mulailah dia menerjemahkan
seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa ibunya. Kemudian, tatkala ia
pindah dari Malaka ke Jakarta, ia sempat menyelesaikan terjemahannya itu. Ia
juga menerjemahkan sebagian besar dari Kitab Perjanjian Lama.

Tetapi lambat laun penjajah bangsa Portugis itu diusir dari seluruh Nusantara
oleh penjajah bangsa Belanda. Karena itu makin lama makin sedikit orang yang
menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa perdagangan antar pulau. Dan Alkitab
masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di
kepalauan Indonesia.

Anehnya, orang-orang yang mula-mula insaf bahwa Firman Allah seharusnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukannya para pendeta dan penginjil,
melainkan para pelaut dan pedagang. Pada permulaan abad yang ke-17, seorang
pelaut Belanda bernama Houtman ditangkap dan dipenjarakan oleh suku Aceh yang
pada waktu itu terkenal cukup garang. Selama ditahan di Sumatera Utara, orang
Belanda itu sempat belajar bahasa Melayu. Setelah dibebaskan, mulai pada tahun
1605 ia menerbitkan beberapa tulisan Kristen yangg sudah diterjemahkannya ke
dalam bahasa Melayu.

Sementara itu, seorang pedagang bernama Albert Cornelisz Ruyl berlayar dari
Belanda ke Indonesia pada tahun 1600. Ia menyadari bahwa Alkitab perlu dibaca
oleh putra-putri Nusantara. Bahkan ia membujuk rekan-rekan sekerjanya sampai
mereka rela membayar semua ongkos penerbitan untuk proyek terjemahannya itu.
Pada tahun 1612 Ruyl sudah selesai mengalihbahasakan seluruh Kitab Injil Matius
ke dalam bahasa Melayu. Tetapi baru tujuh belas tahun kemudian, hasil karyanya
itu dicetak.

Dalam bahasa Melayu terjemahan Ruyl, Doa Bapa Kami (Matius 6:9-13)
berbunyi sebagai berikut:


"Bappa kita, jang adda de surga:
Namma mou jadi bersakti.
Radjat-mu mendatang
kandhatimu menjadi
de bumi seperti de surga
Roti kita derri sa hari-hari membrikan kita sa hari inila.
Makka ber-ampunla pada-kita doosa kita,
seperti kita ber-ampun
akan siapa ber-sala kepada kita.
D’jang-an hentar kita kepada tjobahan,
tetapi lepasken kita dari jang d’jakat."


Hanya sebagian saja dari Alkitab yang sempat diterjemahkan oleh A. C. Ruyl,
pedagang Belanda tadi. Lagi pula, bahasa Melayu yang dipakainya itu sangat
jelek. Misalnya, ia belum mengerti perbedaan antara "kita" dengan "kami."

Kemudian, pada pertengahan abad yang ke-17, ada seorang pendeta Belanda bernama
Daniel Brouwerius yang mulai insaf bahwa Alkitab mmasih merupakan sebuah kitab
yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara. Ia pindah ke kepulauan
Indonesia dan berhasil menerjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Melayu.

Dalam terjemahan Daniel Bruwerius, yang mula-mula diterbitkan pada tahun 1668,
Doa Bapa Kami berbunyi sebagai berikut:


"Bappa cami, jang adda de Surga,
Namma-mou jaddi bersacti.
Radjat-mou datang.
Candati-mou jaddi
bagitou de boumi bagaimana de surga.
Roti cami derri sa hari hari bri hari ini pada cami
Lagi ampon doossa cami,
bagaimana cami ampon
capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarrken cami de dalam tsjobahan
hanja lepasken cami derri jang djahat."


Memang Pdt. Brouwerius sudah dapat membedakan "kita" dan "kami." Namun masih
banyak kesalahan dalam Perjanjian Baru bahasa Melayu yang diterjemahkannya.
Apalagi, seluruh Perjanjian Lama masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam
untuk kebanyakan orang di Nusantara.

Tujuh tahun setelah Kitab Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius itu diterbitkan,
seorang pendeta tentara tiba di Jawa Timur. Siapa namanya? Dr. Melchior
Leydekker. Di samping menjadi seorang pendeta, ia juga seorang dokter. Pada
tahun 1678, Dr. Leydekker pindah lagi dari jawa Timur ke Jakarta, dan tetap
tinggal di ibu kota selama sisa umurnya.

Dr. Leydekker menjadi pandai sekali berkhotbah dalam bahasa Melayu. Jadi, pada
tahun 1691 dialah yang ditunjuk untuk mulai menyiapkan suatu terjemahan seluruh
Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami di seluruh Nusantara.

Selama sepuluh tahun Dr. Leydekker bekerja dengan tekun. Terjemahan seluruh
Kitab Perjanjian Lama dihasilkannya. Lalu ia terus mulai mengalih-bahasakan
Kitab Perjanjian Baru. Sayang, ia tidak sempat menyelesaikan tugas yang mulia
itu: Ia meninggal pada tahun 1701, setelah mengerjakan terjemahannya sampai
dengan  Efesus 6:6.

Kutipan Doa Bapa Kami dari terjemahan bahasa Melayu Dr. Melchior Leydekker di
bawah ini telah disusun kembali menurut ejaan yang disempurnakan dan menurut
tanda-tanda baca yang modern. Dengan demikian lebih jelaslah persamaannya dengan
ayat-ayat yang sama itu dalam terjemahan biasa bahasa Indonesia:


"Bapa kami yang di sorga,
namaMu dipersucilah kiranya
KerajaanMu datanglah.
KehendakMu jadilah,
seperti di dalam sorga, demikianlah di atas bumi.
Roti kami sehari berilah akan kami pada hari ini.
Dan ampunilah pada kami segala salah kami,
seperti lagi kami ini mengampuni
pada orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami kepada percobaan
hanya lepaskanlah kami daripada yang jahat."


Salah seorang rekan Dr. Leydekker almarhum ditunjuk untuk menyelesaikan
tugasnya, sehingga pada tahun 1701 itu juga sudah ada Firman Allah yang lengkap
dalam bahasa Melayu. Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang
bungkam untuk putra-putri Nusantara. Mengapa sampai terjadi demikian?

Pada masa Melchior Leydekker masih menjadi seorang mahasiswa kedokteran dan
kependetaan di Belanda, lahirlah di negeri itu seorang anak laki-laki dalam
keluarga seorang pembantu kepala sekolah. Anak laki-laki itu lahir pada tahun
1965 dan diberi nama Francois Valentyn. Rupa-rupanya ia seorang pemuda yang
pandai, karena ia baru mencapai umur 20 tahun ketika ia diizinkan meninggalkan
kuliah teologinya serta pergi ke Maluku sebagai seorang pendeta. Rupa-rupanya ia
juga cepat mahir dalam bahasa Melayu: Menurut kesaksiannya sendiri, ia sudah
sanggup berkhotbah dalam bahasa setempat setelah belajar hanya tiga bulan
lamanya.

Pada suatu hari, kebetulan seorang pendeta tua datang ke Ambon dan menginap di
tempat tinggal pendeta yang masih muda tadi. Sang pendeta tua membawa serta
sebuah naskah besar. "Warisan," katanya. "Naskah ini dulu ditulis oleh seorang
pendeta yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kemudian sang janda memberikan
naskah ini kepadaku.

Secara tidak terduga pendeta tua itu meninggal pada waktu ia bertemu di rumah
pastori di Ambon. Maka Naskah kuno itu jatuh ke dalam tangan Pdt. Francois
Valentyn. Ketika diperiksa, ternyata tulisan tangan itu adalah terjemahan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu!

Pdt. Valentyn adalah seorang yang rajin. Ia rajin menyelidiki bahasa dan
kebudayaan orang Maluku. Dan ia pun rajin mencari teman-teman baru di tempat
pelayanannya. Salah seorang teman barunya itu adalah seorang janda kaya. Setelah
menikah dengan janda itu, Pdt. Valentyn kembali ke tanah airnya pada tahun 1695.
Naskah kuno itu pun dibawa ke Belanda.

Kemudian, pada permulaan abad yang ke-18 diumumkan bahwa Dr. Melchior Leydekker
almarhum (dengan bantuan salah seorang rekannya) telah berhasil menerjemahkan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu.

Mungkinkah Pdt. Francois Valentyn menjadi iri hati? Mungkinkah ia berkeinginan
supaya dia saja yang dihormati (dan bukan orang-orang yang sudah meninggal)
sebagai penerjemah yang pertama-tama menghasilkan seluruh Firman Allah dalam
bahasa Nusantara?

Bagaimanapun juga, Pdt. Valentyn mulai mempromosikan dirinya sebagai penerjemah
naskah kuno seluruh Alkitab itu (yang hanya kebetulan saja ada di dalam
tangannya). Katanya, terjemahan itu juga lebih baik, jauh lebih modern, bahkan
jauh lebuh mudah dipahami terjemahan Dr. Leydekker.

Tentu saja umat Kristen menjadi bingung. Baik di Belanda maupun kepulauan
Indonesia, ada orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Valentyn, tetapi
ada juga orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Leydekker. Akibatnya,
kedua terjemahan itu tidak jadi diterbitkan. Dan sekali lagi, selama berpuluh-puluh
tahun, Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan
putra-putri Nusantara.

Akhirnya duduk perkaranya terungkap dengan jelas. "Terjemahan Valentyn" itu
diselidiki dan dinyatakan sebagai hasil karya orang lain. Lagi pula, terjemahan
itu dinilai sangat jelek.

Akan tetapi sementara perselisihan pendapat itu masih berlangsung, sudah lewat
juga dua puluh tahun lebih. Ada orang-orang yang merasa bahwa terjemahan
Leydekker tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Maka pada tahun 1723
sebuah panitia ditunjuk untuk menyunting kembali naskah terjemahannya itu.
Selama enam tahun mereka mengerjakan edisinya yang baru.

Menjelang tahun 1729, naskah terjemahan baru dari Alkitab lengkap itu dua kali
disalin dengan tulisan tangan: sekali dalam huruf Latin, dan sekali lagi dalam
huruf Arab. Kedua naskah itu masing-masing dikirim ke Belanda dalam dua kapal
yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa walau satu naskah jadi
hilang di dasar laut, namun naskah yang satunya lagi itu masih akan tiba dengan
selamat. Salah seorang penyuntingnya juga berlayar ke tanah airnya, untuk
mengawasi proyek penerbitan yang besar itu.

Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker keluar pada tahun 1731. Lalu Alkitab
lengkap terjemahan Leydekker diterbitkan pada tahun 1733. Maka akhirnya juga
Firman Allah tidak lagi bungkam dalam bahasa Nusantara!

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar