kebanyakan orang di seluruh dunia.
Ada tiga alasan yang menjadi penghalang
sehingga isi Firman Allah itu umumnya
tidak dikenal oleh orang-orang biasa.
Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu
cara untuk memperbanyak salinan-salinan
Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi,
salinan-salinan Alkitab itu sangat langka
dan sangat mahal harganya.
Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada
zaman dahulu berpendapat bahwa jika
orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab
sendiri, pasti akan timbul banyak
tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran
mereka), lebih baik jika hak istimewa
untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja
oleh para rohaniawan.
Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada
zaman dahulu masih ditulis dalam
bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang
tidak dapat membacanya, pun tidak
dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh
orang lain.
Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga
alasan yang menjadi penghalang itu
berturut-turut dihapus.
Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh
orang-orang Barat (walau pada hakikatnya
orang-orang Timur sudah lebih dahulu
menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama
dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan
Alkitab menjadi jauh lebih mudah
diperoleh.
Kemudian timbul Reformasi Protestan di benua
Eropa. Gerakan pembaharuan gereja
itu menekankan bahwa tiap orang bertanggung
jawab kepada Allah atas keadaan
rohaninya. Jadi, belum cukuplah jika ia
mendengar tafsiran Alkitab yang
diberikan oleh orang lain; ia harus dapat
mempunyai Alkitab sendiri, serta harus
dapat mengerti isinya.
Tentu saja, untuk dapat mencapai maksud tadi,
Alkitab harus diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa yang biasa dipakai oleh
kebanyakan orang. Dan justru itulah
yang berlangsung di seluruh dunia, mulai pada
abad yang ke-16.
Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah
kitab yang bungkam untuk kebanyakan
orang di Nusantara. Memang sudah ada
orang-orang Kristen di sini: Kaum Kristen
Nestorian mulai datang ke kepulauan Indonesia
pada abad yang ke-12, dan kaum
Kristen Katolik mulai datang pada abad yang
ke-14. Tetapi Alkitab-Alkitab yang
mereka bawa itu tertulis dalam bahasa-bahasa
asing, yang sulit dipahami oleh
putra-putri Nusantara.
Ada juga halangan khusus di Nusantara yang
mencegah orang mempunyai dan membaca
Alkitab, yakni: Orang-orang yang tinggal di
berbagai-bagai pulau itu berbicara
dalam berbagai-bagai bahasa pula. Jika
seorang pelaut pergi berlayar di
Nusantara, belum tentu ia dapat
bercakap-cakap dengan orang-orang di pulau
tempat tujuannya.
Namun ada juga bahasa-bahasa yang umumnya
dipakai kalau putra-putri Nusantara
pergi ke pasar atau berdagang di pelabuhan.
Salah satu bahasa perniagaan itu
ialah bahasa Portugis; tetapi yang lebih umum
lagi ialah, bahasa Melayu (yang
sesungguhnya merupakan nenek moyang bahasa
Indonesia).
Anehnya, Alkitab mula-mula diterjemahkan ke
dalam bahasa Portugis, bukan di
negeri Portugis sendiri, melainkan di
Nusantara!
Pada pertengahan abad yang ke-17, seorang
anak laki-laki kecil dibawa dari
Portugis ke kota Malaka, di semenanjung
Melayu. Ketika ia masih berumur belasan
tahun, bocah itu mulai percaya kepada Tuhan
Yesus Kristus sebagai Juru
Selamatnya. Dan pada umur yang masih sangat
muda, mulailah dia menerjemahkan
seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa
ibunya. Kemudian, tatkala ia
pindah dari Malaka ke Jakarta, ia sempat
menyelesaikan terjemahannya itu. Ia
juga menerjemahkan sebagian besar dari Kitab
Perjanjian Lama.
Tetapi lambat laun penjajah bangsa Portugis
itu diusir dari seluruh Nusantara
oleh penjajah bangsa Belanda. Karena itu
makin lama makin sedikit orang yang
menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa
perdagangan antar pulau. Dan Alkitab
masih tetap merupakan sebuah kitab yang
bungkam untuk kebanyakan orang di
kepalauan Indonesia.
Anehnya, orang-orang yang mula-mula insaf
bahwa Firman Allah seharusnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukannya
para pendeta dan penginjil,
melainkan para pelaut dan pedagang. Pada
permulaan abad yang ke-17, seorang
pelaut Belanda bernama Houtman ditangkap dan
dipenjarakan oleh suku Aceh yang
pada waktu itu terkenal cukup garang. Selama
ditahan di Sumatera Utara, orang
Belanda itu sempat belajar bahasa Melayu.
Setelah dibebaskan, mulai pada tahun
1605 ia menerbitkan beberapa tulisan Kristen
yangg sudah diterjemahkannya ke
dalam bahasa Melayu.
Sementara itu, seorang pedagang bernama
Albert Cornelisz Ruyl berlayar dari
Belanda ke Indonesia pada tahun 1600. Ia
menyadari bahwa Alkitab perlu dibaca
oleh putra-putri Nusantara. Bahkan ia
membujuk rekan-rekan sekerjanya sampai
mereka rela membayar semua ongkos penerbitan
untuk proyek terjemahannya itu.
Pada tahun 1612 Ruyl sudah selesai mengalihbahasakan
seluruh Kitab Injil Matius
ke dalam bahasa Melayu. Tetapi baru tujuh
belas tahun kemudian, hasil karyanya
itu dicetak.
Dalam bahasa Melayu terjemahan Ruyl, Doa Bapa
Kami (Matius 6:9-13)
berbunyi sebagai berikut:
"Bappa kita, jang adda de surga:
Namma mou jadi bersakti.
Radjat-mu mendatang
kandhatimu menjadi
de bumi seperti de surga
Roti kita derri sa hari-hari membrikan kita sa hari inila.
Makka ber-ampunla pada-kita doosa kita,
seperti kita ber-ampun
akan siapa ber-sala kepada kita.
D’jang-an hentar kita kepada tjobahan,
tetapi lepasken kita dari jang d’jakat."
Hanya sebagian saja dari Alkitab yang sempat
diterjemahkan oleh A. C. Ruyl,
pedagang Belanda tadi. Lagi pula, bahasa
Melayu yang dipakainya itu sangat
jelek. Misalnya, ia belum mengerti perbedaan
antara "kita" dengan "kami."
Kemudian, pada pertengahan abad yang ke-17,
ada seorang pendeta Belanda bernama
Daniel Brouwerius yang mulai insaf bahwa
Alkitab mmasih merupakan sebuah kitab
yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara.
Ia pindah ke kepulauan
Indonesia dan berhasil menerjemahkan seluruh
Kitab Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Melayu.
Dalam terjemahan Daniel Bruwerius, yang
mula-mula diterbitkan pada tahun 1668,
Doa Bapa Kami berbunyi sebagai berikut:
"Bappa cami, jang adda de Surga,
Namma-mou jaddi bersacti.
Radjat-mou datang.
Candati-mou jaddi
bagitou de boumi bagaimana de surga.
Roti cami derri sa hari hari bri hari ini pada cami
Lagi ampon doossa cami,
bagaimana cami ampon
capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarrken cami de dalam tsjobahan
hanja lepasken cami derri jang djahat."
Memang Pdt. Brouwerius sudah dapat membedakan
"kita" dan "kami." Namun masih
banyak kesalahan dalam Perjanjian Baru bahasa
Melayu yang diterjemahkannya.
Apalagi, seluruh Perjanjian Lama masih tetap
merupakan sebuah kitab yang bungkam
untuk kebanyakan orang di Nusantara.
Tujuh tahun setelah Kitab Perjanjian Baru
terjemahan Brouwerius itu diterbitkan,
seorang pendeta tentara tiba di Jawa Timur.
Siapa namanya? Dr. Melchior
Leydekker. Di samping menjadi seorang
pendeta, ia juga seorang dokter. Pada
tahun 1678, Dr. Leydekker pindah lagi dari
jawa Timur ke Jakarta, dan tetap
tinggal di ibu kota selama sisa umurnya.
Dr. Leydekker menjadi pandai sekali
berkhotbah dalam bahasa Melayu. Jadi, pada
tahun 1691 dialah yang ditunjuk untuk mulai
menyiapkan suatu terjemahan seluruh
Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami di
seluruh Nusantara.
Selama sepuluh tahun Dr. Leydekker bekerja
dengan tekun. Terjemahan seluruh
Kitab Perjanjian Lama dihasilkannya. Lalu ia
terus mulai mengalih-bahasakan
Kitab Perjanjian Baru. Sayang, ia tidak
sempat menyelesaikan tugas yang mulia
itu: Ia meninggal pada tahun 1701, setelah
mengerjakan terjemahannya sampai
dengan Efesus 6:6.
Kutipan Doa Bapa Kami dari terjemahan bahasa
Melayu Dr. Melchior Leydekker di
bawah ini telah disusun kembali menurut ejaan
yang disempurnakan dan menurut
tanda-tanda baca yang modern. Dengan demikian
lebih jelaslah persamaannya dengan
ayat-ayat yang sama itu dalam terjemahan
biasa bahasa Indonesia:
"Bapa kami yang di sorga,
namaMu dipersucilah kiranya
KerajaanMu datanglah.
KehendakMu jadilah,
seperti di dalam sorga, demikianlah di atas bumi.
Roti kami sehari berilah akan kami pada hari ini.
Dan ampunilah pada kami segala salah kami,
seperti lagi kami ini mengampuni
pada orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami kepada percobaan
hanya lepaskanlah kami daripada yang jahat."
Salah seorang rekan Dr. Leydekker almarhum
ditunjuk untuk menyelesaikan
tugasnya, sehingga pada tahun 1701 itu juga
sudah ada Firman Allah yang lengkap
dalam bahasa Melayu. Namun Alkitab masih
tetap merupakan sebuah kitab yang
bungkam untuk putra-putri Nusantara. Mengapa
sampai terjadi demikian?
Pada masa Melchior Leydekker masih menjadi
seorang mahasiswa kedokteran dan
kependetaan di Belanda, lahirlah di negeri
itu seorang anak laki-laki dalam
keluarga seorang pembantu kepala sekolah.
Anak laki-laki itu lahir pada tahun
1965 dan diberi nama Francois Valentyn.
Rupa-rupanya ia seorang pemuda yang
pandai, karena ia baru mencapai umur 20 tahun
ketika ia diizinkan meninggalkan
kuliah teologinya serta pergi ke Maluku
sebagai seorang pendeta. Rupa-rupanya ia
juga cepat mahir dalam bahasa Melayu: Menurut
kesaksiannya sendiri, ia sudah
sanggup berkhotbah dalam bahasa setempat
setelah belajar hanya tiga bulan
lamanya.
Pada suatu hari, kebetulan seorang pendeta
tua datang ke Ambon dan menginap di
tempat tinggal pendeta yang masih muda tadi.
Sang pendeta tua membawa serta
sebuah naskah besar. "Warisan,"
katanya. "Naskah ini dulu ditulis oleh seorang
pendeta yang meninggal sepuluh tahun yang
lalu. Kemudian sang janda memberikan
naskah ini kepadaku.
Secara tidak terduga pendeta tua itu
meninggal pada waktu ia bertemu di rumah
pastori di Ambon. Maka Naskah kuno itu jatuh
ke dalam tangan Pdt. Francois
Valentyn. Ketika diperiksa, ternyata tulisan
tangan itu adalah terjemahan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu!
Pdt. Valentyn adalah seorang yang rajin. Ia
rajin menyelidiki bahasa dan
kebudayaan orang Maluku. Dan ia pun rajin
mencari teman-teman baru di tempat
pelayanannya. Salah seorang teman barunya itu
adalah seorang janda kaya. Setelah
menikah dengan janda itu, Pdt. Valentyn
kembali ke tanah airnya pada tahun 1695.
Naskah kuno itu pun dibawa ke Belanda.
Kemudian, pada permulaan abad yang ke-18
diumumkan bahwa Dr. Melchior Leydekker
almarhum (dengan bantuan salah seorang
rekannya) telah berhasil menerjemahkan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu.
Mungkinkah Pdt. Francois Valentyn menjadi iri
hati? Mungkinkah ia berkeinginan
supaya dia saja yang dihormati (dan bukan
orang-orang yang sudah meninggal)
sebagai penerjemah yang pertama-tama
menghasilkan seluruh Firman Allah dalam
bahasa Nusantara?
Bagaimanapun juga, Pdt. Valentyn mulai
mempromosikan dirinya sebagai penerjemah
naskah kuno seluruh Alkitab itu (yang hanya
kebetulan saja ada di dalam
tangannya). Katanya, terjemahan itu juga
lebih baik, jauh lebih modern, bahkan
jauh lebuh mudah dipahami terjemahan Dr.
Leydekker.
Tentu saja umat Kristen menjadi bingung. Baik
di Belanda maupun kepulauan
Indonesia, ada orang-orang yang lebih setuju
dengan terjemahan Valentyn, tetapi
ada juga orang-orang yang lebih setuju dengan
terjemahan Leydekker. Akibatnya,
kedua terjemahan itu tidak jadi diterbitkan.
Dan sekali lagi, selama berpuluh-puluh
tahun, Alkitab masih tetap merupakan sebuah
kitab yang bungkam untuk kebanyakan
putra-putri Nusantara.
Akhirnya duduk perkaranya terungkap dengan
jelas. "Terjemahan Valentyn" itu
diselidiki dan dinyatakan sebagai hasil karya
orang lain. Lagi pula, terjemahan
itu dinilai sangat jelek.
Akan tetapi sementara perselisihan pendapat
itu masih berlangsung, sudah lewat
juga dua puluh tahun lebih. Ada orang-orang
yang merasa bahwa terjemahan
Leydekker tidak lagi sesuai dengan perkembangan
zaman. Maka pada tahun 1723
sebuah panitia ditunjuk untuk menyunting
kembali naskah terjemahannya itu.
Selama enam tahun mereka mengerjakan edisinya
yang baru.
Menjelang tahun 1729, naskah terjemahan baru
dari Alkitab lengkap itu dua kali
disalin dengan tulisan tangan: sekali dalam
huruf Latin, dan sekali lagi dalam
huruf Arab. Kedua naskah itu masing-masing
dikirim ke Belanda dalam dua kapal
yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan
harapan bahwa walau satu naskah jadi
hilang di dasar laut, namun naskah yang
satunya lagi itu masih akan tiba dengan
selamat. Salah seorang penyuntingnya juga
berlayar ke tanah airnya, untuk
mengawasi proyek penerbitan yang besar itu.
Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker
keluar pada tahun 1731. Lalu Alkitab
lengkap terjemahan Leydekker diterbitkan pada
tahun 1733. Maka akhirnya juga
Firman Allah tidak lagi bungkam dalam bahasa
Nusantara!
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar