|
karyadim642.blogspot.com |
Rakyat sedang berkumpul pada hari pasar di desa Tayabamba, yang
letaknya di daerah pegunungan Peru. Di mana-mana di sekeliling
desa kecil itu, ada gunung-gunung yang menjulang tinggi ke angkasa.
Jauh di atas pada
sebuah lereng bukit, ada seorang pria yang sedang berjalan kaki
sambil memandang ke bawah, ke pasar desa di lembah itu. Nama pejalan kaki
itu Renoso; ia seorang buruh harian. Matanya berbinar-binar kesenangan melihat
pemandangan indah yang terbentang di depannya. Bagus sekali negeri Peru milik
kita ini! katanya dalam hati.
Lalu Renoso mulai turun ke desa Tayabamba. Jalannya jelek. Setiap
orang di daerah itu yang mampu, suka bepergian dengan menunggang
bagal, keturunan kuda dan keledai. Tetapi bagi Renoso yang
keuangannya pas-pasan, . . . kedua kakinya yang kuat itulah yang
menjadi bagalnya! Sekalipun ia tidak mempunyai binatang
tunggangan, namun hatinya senang.
Renoso sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja di suatu
tempat di balik bukit. Ia membawa serta uang penghasilannya dari
pekerjaan itu. Dalam ranselnya ia membawa juga Alkitabnya, buku
lagu rohaninya, dan sebuah majalah gereja yang berjudul Kelahiran
Kembali. Baik di kampung halamannya maupun di tempat ia bepergian,
Renoso selalu setia sebagai anggota gerejanya.
Pasar mingguan itu masih ramai ketika Renoso tiba di desa
Tayabamba. Ia tersenyum. Tadi ia merasa kesepian selama dalam
perjalanan jauh di pegunungan tinggi. Kini ia dapat menikmati
keramaian pasar. Mungkin ia akan membeli oleh-oleh untuk dibawa
pulang kepada ibunya besok. Mungkin ia akan bercakap-cakap dengan berbagai
macam orang. Renoso sangat peramah; tidak ada yang lebih menyenangkan
hatinya daripada percakapan yang ramah.
Ternyata orang-orang di desa itu suka bergaul dan rela
mengobrol. Ada yang datang dari desa-desa lain untuk menjual
barang dagangannya di Tayabamba. Ada yang masih sibuk berjualan;
ada yang sudah siap pulang. Dan ada juga yang sudah siap untuk
pergi berbakti dengan cara-cara mereka yang khas.
Sambil bercakap-cakap Renoso memperhatikan orang-orang yang hendak
pergi berbakti itu.
"Kami tidak berbakti dengan cara-cara seperti itu,"
katanya, seolah-olah mengobrol secara iseng-iseng saja. "Kami
suka berbakti dengan membaca Alkitab, dan dengan menyanyikan
lagu-lagu rohani." Dan ia pun mengeluarkan Alkitabnya dari
ranselnya.
Orang-orang desa itu nampaknya tertarik sekali. Belum pernah
mereka melihat sebuah Alkitab! Maka Renoso memperlihatkannya dan
membacakan satu dua cerita dari halaman-halamannya.
"Buku itu bagus sekali!" kata seorang penduduk desa
yang nama julukannya Paman Besar.
Renoso menggeleng. "Mungkin tidak, kecuali kalau mereka itu
sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus."
"Kalau begitu, juallah Buku itu kepada kami," desak
Paman Besar. "Aku ingin mendengar isinya lebih banyak lagi."
"Maaf, Paman, aku tidak dapat menjualnya," jawab Renoso.
"Buku ini diberikan kepadaku pada suatu hari yang istimewa
sekali." Ia membuka halaman depannya. "Lihat! Namaku dan
tanggal pembabtisanku tertulis di sini dengan huruf besar. Maafkan,
aku tidak dapat menjual Alkitabku."
Pada malam itu Renoso menginap di desa Tayabamba. Banyak orang
yang berkumpul di sekelilingnya: Paman Besar, Kakek Tua, Si
Pincang, dan beberapa penduduk desa yang lain. Mereka semua
menyukai Renoso. Mereka semua ingin mendengar lebih banyak lagi
tentang tempat-tempat yang dilihat dalam perjalanannya, dan tentang
cara-cara berbakti di gerejanya.
"Mengenai cara berbakti itu," kata Paman Besar.
"Katamu, kalian biasa menyanyi?"
"Betul, Paman," Renoso mengiakan. "Kami
menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan Allah, dan lagu-lagu doa
yang memohon pertolonganNya dan bimbinganNya."
"Ayo, nyanyikan salah satu lagu itu!" seru Si Pincang.
"Ya, ya, nyanyikan sebuah lagu bagi kami!" semuanya
turut mendesak.
Mula-mula Renoso merasa bahwa mereka bergurau saja. Ia bukan
seorang penyanyi! Bagaimana ia dapat menyanyikan sebuah lagu
rohani bagi mereka?
Namun wajah setiap
orang yang sedang menatapnya itu nampak begitu mengharap-harap.
"Suaraku jelek," katanya ragu-ragu. Tetapi melihat
kekecewaan mereka, ia pun memberanikan diri. "Baiklah! Aku
akan mencoba bernyanyi. Tetapi kalian harus turut bernyanyi juga!
Aku akan mengajarkan kalian sebuah lagu rohani."
Maka mulailah Renoso bernyanyi. Ia menyanyi tentang kasih Allah.
Ia memuji-muji Allah atas kebaikanNya. Melodi lagu itu polos
sekali; kata-katanya sangat sederhana. Setiap anak di gereja
Renoso sudah biasa menyanyikan lagu itu, dengan suaranya yang
merdu.
Mula-mula para penduduk desa Tayabamba dengan susah payah ikut
menyanyi. Mereka belum biasa mendengarkan lagu seperti itu,
apalagi menyanyikannya! Suara Kakek Tua terdengar sering pecah.
Sesuai dengan nama julukannya, Paman Besar mempunyai suara besar,
tetapi nadanya sering sumbang. Tetapi si Pincang pandai menyanyi. Suaranya
mengalun tinggi, seolah-olah ia sudah lama mengenal lagu itu. Memang
suaranya kedengaran agak kasar, namun not-notnya tepat.
Berkali-kali lagu rohani itu diulangi. Para ibu yang duduk di
pojok-pojok ruang yang gelap itu juga turut menyanyi. Anak-anak
duduk mendengarkan dengan mata tak berkedip, sedangkan para orang
tua mereka mengangkat suara.
"Ayo, biarlah Alkitab itu tetap tinggal disini," Kakek
Tua mendesak lagi.
"Maaf sekali,
Kakek," kata Renoso sambil menolak secara halus. "Tetapi, . .
. ya, sudah . . . aku akan meninggalkan buku lagu rohaniku pada Kakek,
dan juga majalah ini dari gerejaku. Lihat judulnya: Kelahiran Kembali. Itulah
yang terjadi atas tiap orang yang mengikut Tuhan Yesus. Ia menjadi manusia baru,
seolah-olah ia lahir kembali."
Keesokan harinya Renoso berangkat menuju kampung halamannya. Dalam
hati ia bertanya-tanya tentang desa Tayabamba: Alangkah baiknya
kalau bapak pendeta dapat pergi ke sana! Namun desa itu letaknya
empat hari perjalanan dari tempat tinggal bapak pendeta. Banyak
desa lain yang lebih dekat, yang juga belum sempat mendengar Kabar
Baik tentang Tuhan Yesus.
Sepeninggal Renoso, orang-orang di desa Tayabamba itu tidak
memikirkan tentang kedatangan seorang pendeta. Bukankah mereka
sudah mempunyai sebuah buku lagu rohani dan sebuah majalah
Kristen? Semua orang yang berminat, suka berkumpul sehabis kerja
di rumah Paman Besar. Si Pincang yang membacakan buku dan majalah itu
bagi mereka; tidak ada orang lain yang sepandai dia. Bahkan sebagian di
antara mereka itu buta huruf. Mereka hanya dapat belajar dengan mendengarkan
saja.
Si Pincang membacakan kata-kata dari lagu rohani yang telah mereka
hafalkan, yang halamannya telah ditandai oleh Renoso. Berkali-kali
mereka menyanyikannya. Lalu dengan susah payah, kata demi kata Si
Pincang membacakan kata-kata dari lagu-lagu lain. Ia juga
membacakan isi majalah Kelahiran Kembali. Ada yang sama sekali
tidak dapat mereka pahami. Tetapi ada juga yang jelas artinya, karena
masih ada hubungannya dengan hal-hal yang sudah disebut-sebut oleh Renoso.
"Bagaimana kita dapat menyanyikan lagu-lagu yang lain
itu?" tanya Nenek Tua.
"Melodi yang diajarkan Renoso itu tidak cocok dengan
kata-kata yang lain."
Memang betul. Sudah berkali-kali mereka berusaha mencocokkan
not-not itu pada lagu-lagu rohani yang lain, tetapi sia-sia semua.
"Mari kita membuat melodi sendiri," usul Si Pincang
dengan mantap. "Kata-kata itulah yang akan menjadi penunjuk,
bagaimana kita dapat menyanyikannya." Maka dengan gembira
mulailah mereka ramai-ramai membuat dan menyanyikan lagu-lagu rohani
dengan melodi-melodi baru.
Pada suatu hari Si Pincang melihat sebuah iklan dalam majalah
Kelahiran Kembali. Iklan itu dari sebuah toko buku Kristen di
Lima, ibu kota Peru. Di dalam iklan itu disebutkan juga buku lagu
rohani yang sudah mereka miliki. Katanya, buku itu dapat dibeli
dengan harga sekian.
Lalu si Pincang menemukan sesuatu yang mengejutkan sekali dalam
iklan itu. Alkitab juga dapat dibeli! Alkitab yang sama seperti
Alkitab milik Renoso! Dengan berjalan tertatih-tatih Si Pincang
cepat-cepat pergi ke rumah Kakek Tua dan rumah Paman Besar untuk
memberitahukan berita baik itu.
Malam itu mereka berkali-kali menghitung ongkosnya. Akhirnya
mereka berhasil memposkan sepucuk surat kepada toko buku Kristen
di kota Lima. Pesanan mereka: beberapa Alkitab, beberapa buku lagu
rohani, dan beberapa barang cetakan yang lain.
Para pengurus toko buku di ibu kota itu heran. Setahu mereka,
tidak ada seorangpun di desa pegunungan yang terpencil itu. Namun
mereka segera melayani pesanan itu. "Tayabamba, . . ."
sewaktu-waktu mereka berkata satu kepada yang lain. "Siapa
kira-kira yang ingin punya Alkitab dan buku lagu rohani di desa Tayabamba?"
Alangkah senangnya Si Pincang, Paman Besar, dan Kakek Tua ketika
pospaket yang dimuat di atas punggung seekor bagal itu tiba!
Banyak penduduk desa berkumpul pada saat bungkusan itu dibuka.
Tetapi orang-orang percaya itu tidak memperhatikan bahwa ada juga
musuh-musuh mereka yang mengerutkan dahi. Mereka tidak peduli,
oleh karena mereka begitu penuh dengan sukacita: Kini mereka mempunyai
Alkitab yang sama seperti Alkitab milik Renoso.
Dengan Alkitab dan buku lagu rohani di dalam tangan mereka
masing-masing, semua orang Kristen yang sudah dapat membaca
sedikit itu makin lama makin pandai. Memang mereka harus membaca
dalam bahasa Spanyol dan bukan dalam bahasa daerah, namun mereka
berhasil juga.
"Lihat ini," kata Paman Besar sambil menunjuk pada
sebuah majalah Kristen. "Disini ada gambar anak-anak yang
disuruh berkumpul untuk mendengarkan cerita-cerita Alkitab. Kenapa
kita tidak menirunya? Belajar ayat-ayat dan lagu-lagu rohani itu sangat
berguna bagi anak-anak."
"Gagasan yang baik!" kata Si
Pincang. "Mari kita adakan sekolah untuk anak-anak di desa
ini!"
Dan mulailah mereka mengadakan Sekolah Minggu untuk anak-anak.
Hanya saja, mereka belum tahu ada istilah khusus "Sekolah
Minggu", maka mereka menyebutnya "sekolah" saja.
"Nah, lihat!" kata musuh-musuh
orang Kristen di daerah itu. "Mereka telah membuka sekolah
tanpa izin!"
Alangkah terkejutnya Paman Besar, Kakek Tua, dan Si Pincang serta
beberapa teman pria mereka ketika mereka ditangkap dan dijebloskan
ke dalam penjara!
Mereka semua dimasukkan ke dalam satu sel
yang kotor dan gelap. Tiga perempat dari lantainya basah. Di sel
itu hanya ada satu jendela, dan itu pun tinggi di atas kepala
mereka. Pintu besar dari balok-balok kayu itu dipalang rapat-rapat.
Para ibu diizinkan membawakan jerami dan tikar ke penjara sebagai
tempat-tempat tidur. Sekali sehari mereka pun boleh mengirim
makanan. Tetapi pintu itu tetap terkunci, dan tidak ada seorang
pun di dunia luar yang tahu, bagaimana masib para tahanan itu
kelak.
Sepanjang hari orang-orang Kristen yang
sedang ditahan itu hanya dapat duduk-duduk saja.
Satu hari lewat. Lalu tibalah hari kedua.
"Aku ada akal," kata Si
Pincang. "Mari kita kirim telegram kepada toko buku Kristen
di kota Lima. Mungkin para penjual Alkitab itu dapat mengutus seseorang
untuk menolong kita."
"Wah, nekat sekali usul itu!" balas Kakek Tua.
"Tetapi siapa lagi yang mau menjadi teman kita?" Lalu ia
mengeluh lirih; sendi-sendinya yang tua itu sudah terasa pegal
karena ia harus duduk lama pada lantai yang lembab.
Nenek Tualah yang bersedia mengirimkan
telegram. "Tapi sebaiknya jangan dari sini," katanya.
"Akan ketahuan oleh musuh-musuh kita. Biar aku besok jalan kaki
ke desa yang lain, lalu mengirimkannya dari sana.
Hari ketiga pun tiba . . . dan lewat pula.
"Aku ada akal lagi," kata Si
Pincang. "Mari kita menyanyikan lagu-lagu rohani!"
Maka mulailah mereka menyanyi. Penjaga penjara itu heran mendengar
nyanyian-nyanyian yang ria dari sel yang gelap itu. Berturut-turut
mereka menyanyikan semua lagu yang sudah mereka hafal. Lalu mereka
mengarang sendiri melodi-melodi baru untuk lagu-lagu yang
kata-katanya sudah mereka dengar.
Tiap-tiap hari mereka
menyanyi, bahkan kadang-kadang sampai jauh malam. Di antara
saat-saat menyanyi itu, mereka pun bercakap-cakap dengan hati yang
senang, serta membuat rencana tentang kegiatan mereka setelah dibebaskan kelak.
Pada suatu hari ada kabar yang menyedihkan: Istri dari salah
seorang tahanan itu meninggal.
Para tahanan lainnya berusaha menghibur dia. Mereka juga
berusaha membujuk penjaga penjara agar ia mengizinkan orang itu
pulang selama satu hari saja.
"Biarkan dia pulang!" Penjaga penjara itu kaget pada
saat ia membeo seruan yang terdengar dari sel yang gelap.
"Wah, bisa-bisa ia melarikan diri!"
"Bukakan
pintu!" seru Paman Besar. "Pasti dia akan kembali lagi."
Dengan ragu-ragu penjaga penjara itu akhirnya membukakan pintu.
Orang yang istrinya baru mati itu diperbolehkan pulang.
Petang harinya, ia memang datang kembali ke penjara. "Terima
kasih banyak, Suadara," katanya kepada penjaga.
"Keluargaku merasa terhibur oleh karena aku diizinkan pulang
untuk turut menguburkan istriku."
Penjaga itu melongo keheranan. "Aneh benar ajaran baru
ini!" gumamnya. "Siapa yang percaya bahwa seorang
tahanan dengan sukarela akan kembali ke penjara?"
Seminggu . . . lalu dua minggu lewatlah sudah.
"Untung sekali kita dipenjarakan!" kata Si Pincang
dengan semangat. "Kalau kita sibuk dengan tugas sehari-hari,
pasti tidak ada waktu untuk mempelajari lagu-lagu rohani ini."
Ia berdiri di pojok sel yang paling basah, di mana seberkas
cahaya dari jendela tinggi itu menyinari buku nyanyiannya.
"Nah, di sini ada sebuah lagu rohani berupa doa, . . . seruan
minta keberanian dan kesabaran; Tentu saja kita perlu keberanian
dan kesabaran; jangan-jangan seumur hidup kita akan tetap terkurung
di dalam kegelapan ini!" Maka mulailah Si Pincang menyanyikan lagu
baru itu.
Pada suatu hari penjaga penjara berbicara dengan sungguh-sungguh
kepada para pamong desa Tayabamba. "Lebih baik mereka
dibebaskan saja," begitulah nasihatnya. "Telingaku pekak
mendengar nyanyian mereka yang tak kunjung berakhir. Apalagi ada
tahanan-tahanan lain yang mulai terpengaruh oleh ajaran-ajaran mereka.
Tambahan pula, mustahil kita dapat terus menahan mereka dengan alasan
yang sepele saja."
Para pamong desa mengerutkan dahi. Mereka juga merasa terganggu
dengan nyanyian yang terus menerus berkumandang itu. Apalagi, banyak
penganggur sudah mulai berkumpul di luar tembok penjara.
Penyanyi-penyanyi di dalam kegelapan itu sudah banyak menarik
perhatian.
Akhirnya para pamong desa itu mengambil keputusan: "Baiklah,
lepaskan mereka."
Penjaga penjara itu tidak menunda-nunda. Segera ia melangkahkan
kakinya ke arah pintu penjara. Palang dan kunci dibukakannya
semua. "Bebas, kalian semua bebas!" serunya ia
tersenyum, karena dalam hati ia merasa kagum akan para tahanan yang
tabah hatinya itu. "Pulanglah dengan selamat!"
Gembira sekali suasana pada malam itu di rumah setiap orang
Kristen. Kemudian mereka semua berkumpul di rumah Paman Besar. Di
sana mereka menyanyi, sama seperti waktu mereka menyanyi di dalam
kegelapan. Di sana pula mereka mengucap syukur oleh karena masa tahanan
mereka sudah lewat.
Beberapa hari kemudian, seorang penginjil memasuki desa
Tayabamba dengan menunggang seekor bagal. Telegram kepada toko
buku Kristen itu memang sudah diterima. Secepat mungkin penginjil
itu dikirim ke sana.
Sesampainya di desa Tayabamba, penginjil itu agak bingung tentang
hukum yang berlaku di sana. Namun ketika ia mendengar bahwa semua
tahanan itu telah dibebaskan, hatinya lega. Sekarang ia dapat
memakai waktunya dengan lebih terarah.
"Tiga puluh orang di sini sudah mulai membaca
Alkitab," Si Pincang menjelaskan. "Lebih dari tiga puluh
orang yang suka mendengar ajaran-ajarannya. Tetapi kami semua
perlu lebih tahu bagaimana caranya mengikuti Tuhan Yesus."
Maka selama beberapa hari penginjil itu menetap du desa Tayabamba.
Sesuai dengan permintaan Si Pincang, ia menolong orang-orang
Kristen baru itu agar "lebih tahu bagaimana caranya mengikuti
Tuhan Yesus." Ia pun bercerita kepada mereka tentang umat
Kristen lainnya di seluruh dunia. Lalu ia pergi lagi, dengan janji akan
datang kembali sewaktu-waktu.
Satu demi satu ada
lagi penduduk desa Tayabamba yang rela mulai membaca Alkitab atau
rela mulai mendengarkan pembacaannya. Satu demi satu ada lagi orang-orang
baru yang percaya kepada Tuhan Yesus. Jumlah umat Kristen di desa itu tidak lagi
hanya berpuluh-puluh orang saja, melainkan beratus-ratus orang.
Kadang-kadang penjaga penjara di desa Tayabamba itu masih suka
bingung. Aneh .. . katanya pada dirinya sendiri, sejak aku
membebaskan tahanan-tahanan itu, kejahatan di sini semakin
berkurang. Tidak lagi sering terjadi perkelahian atau perjudian;
tidak lagi banyak orang yang mabuk-mabukan. Tentu ini adalah perubahan
cara hidup yang mengagumkan . . . berkat adanya penyanyi-penyanyi di
dalam kegelapan itu!
TAMAT