Gunung-gunung menjulang tinggi di atas
gubuk tempat tinggal Jan, si penggali tua. Pada musim dingin,
salju bertumpuk-tumpuk di mana-mana dan angin kencang melolong di
sepanjang ngarai, menerjang dahan-dahan pohon cemara.
Penggali tua itu mungkin pergi
menambang pada musim dingin. Selama ada tumpukan salju di
mana-mana, Jan suka duduk di rumah dan mengenang negeri Finlandia,
tempat ia lahir dan dibesarkan. Ia teringat akan sinar matahari yang dulu
berkilauan dan pada salju yang putih bersih. Ia juga teringat akan anak-anak
yang dulu berkilauan pada salju yang putih bersih. Ia juga teringat akan
anak-anak yang dulu memakai ski pada kaki mereka sambil meluncur
kencang pada lereng curam yang berlapis salju.
Ya, pada malam-malam yang gelap selama
musim dingin, Jan suka mengenang rumah orang tuanya dulu di
Filandia. Dengan menutup matanya, ia dapat membayangkan sosok
ayahnya yang gagah serta ibunya yang manis; mereka duduk di dekat tempat
perapian, dengan anak-anak mereka berkumpul di sekelilingnya. Hampir-hampir Jan
dapat mendengar suara ayahnya yang rendah dan empuk sedang membacakan Alkitab
milik pusaka keluarganya.
Pada saat-saat lamunannya seperti itu,
Jan suka bangun dari kursinya pergi ke sebuah peti, dan membuka
tutupnya. Dari dalam peti itu ia mengeluarkan satu-satunya harta
miliknya: Sebuah Alkitab besar dalam bahasa Filandia, yang telah dihadiahkan
oleh ayahnya dulu pada hari ia berangkat dari rumahnya menuju ke Amerika.
Di bawah sinar yang remang-remang dari
sebuah lampu minyak tanah, Jan menelusuri kata-kata Kitab Suci.
Jari-jarinya yang sudah kisut itu mengikuti baris-baris cetakan
pada halaman Alkitabnya.
Sesungguhnya para tokoh Alkitab itu
sudah menjadi teman-teman bagi Jan dalam gubuknya yang sepi. Ia
suka membaca dengan keras, dalam bahasa Filandia yang masih
dicintainya sejak masa kecilnya dulu. Ada kalanya ia membaca ajaran-ajaran
Tuhan Yesus, ada kalanya pengalaman - pengalaman Rasul Paulus yang
menggemparkan. Ada kalanya ia membaca puisi yang luhur dari Kitab
Mazmur, ada kalanya kisah-kisah kepahlawanan dari zaman Perjanjian
Lama.
Jan tidak pernah pergi ke gereja. Namun
ia setia membaca Alkitabnya. Dan ia pun berdoa dengan cara yang
telah diajarkan oleh ibunya, berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
Hidupnya serba sederhana. Jan tidak
mau bekerja pada suatu perusahaan
pertambangan yang besar. Ia lebih
suka pergi mencari nafkah sendirian ke gunung, menggali-gali tanah
dengan harapan dapat menambang cukup banyak logam berharga. Kadang-kadang
ia menemukan sedikit bijih tembaga, kadang-kadang sedikit bijih perak.
Hasil penjualan apa yang digalingnya itu hanya sekedar untuk menyambung
hidupnya. Ia belum pernah berhasil menjadi seoran kaya dengan menambang emas.
Namun Jan merasa puas. Ia bersifat
jujur dan baik hati dalam segala
perbuatannya. Dan ia selalu rela
menolong tetangga-tetangganya.
Pada suatu hari, ketika Jan sedang
menggali di dalam ngarai yang jauh dari tempat tinggalnya,
gubuknya itu kebakaran. Tidak ada seorang yang sempat memadamkannya;
bahkan tidak ada seorang pun yang tahu.
Pada saat Jan kembali dengan menuntun
keledainya yang kecil, ia berdiri terpana.
Gubuknya musnah! Yang tertinggal
hanyalah tumpukan kecil arang dan abu. Barang-barang miliknya
memang hanya sedikit, namun tidak ada satu pun yang tersisa.
Mula-mula Jan melongo saja, tidak
percaya. Lalu ia berlari menuju tumpukan arang yang masih
mengepulkan asap itu. Petinya! Mungkin petinya masih terluput dari
nyala api.
Akan tetapi . . . tidak demikian.
Petinya pun musnah dengan semua isinya.
Air mata mulai meleleh di pipi Jan.
Petinya pun musnah dengan semua isinya karena gubuknya musnah: Ia
sendiri dapat membangun sebuah rumah yang baru. Bukan pula karena
selimutnya dan pancinya dan piringnya habis ditelan api: Ia dapat membelinya
lagi, karena ia masih mempunyai uang tabungan di bank desa di lembah
yang tiga kilometer jauhnya itu.
Bukan! Jan menangis karena satu-satunya
harta miliknya musnah: Alkitabnya dalam bahasa Filandia.
Tidak ada orang Amerika yang berbahasa Filandia. Tidak ada toko di Amerika
yang menjual buku dalam bahasa Filandia. Alkitab yang sudah musnah
tak mungkin dapat diganti.
Jan memang berhasil membangun sebuah
gubuk baru. Tetapi ia tidak jadi pergi membeli perlengkapannya.
Banyak tetangganya sudah lama mengenal dan mengasihi penggali tua
itu. Merekalah yang berdatangan, membawa serta selimut dan panci dan
piring, serta meja dan kursi yang kasar; mereka bahkan membawa sebuah tungku
api dan sebuah lampu minyak tanah.
"Mengapa tidak?" kata mereka satu kepada yang lain. "Pak
Jan sudah menghabiskan masa hidupnya di daerah ini dengan berbuat
baik. Coba ingat, berapa kali ia pergi membantu orang yang
terkurung dalam rumahnya karena salju yang lebat, atau ia
membelahkan kayu bakar bagi orang yang sakit, ataupun ia membatu tetangganya
dengan suatu tugas yang terlalu berat untuk dikerjakan seorang diri."
Maka Jan membenahi rumahnya yang baru
serta mulai hidup agak sama seperti dulu. Tetapi ada sesuatu yang
tidak sama seperti dulu. Kalau salju mulai turun di musim dingin
dan pikirannya menerawang jauh ke masa kecilnya di Finlandia, ia tidak
dapat lagi meraih Alkitabnya. Menyalakan lampu juga percuma saja: Tidak
ada Alkitab yang dapat dibacanya.
"Na, na, terlalu sulit aku baca
bahasa Inggris," Jan menjelaskan kepada penduduk desa di
lembah itu yang ingin membelikan sebuah Alkitab baru baginya. "Ya, ya,
terlalu banyak kata aku tidak tahu apa artinya. Tidak sama. Sama sekali tidak
sama. Hanya dalam bahasa Filandia Alkitab dapat berkata-kata dalam lubuk hatiku.
Dan Filandia kan jauh sekali di seberang. Tak mungkin aku pergi ke sana beli
Alkitab baru."
Tiap kali Jan turun ke desa di lembah
itu untuk membeli bekal, ia selalu mampir di rumah keluarga Blake.
Si Clara Blake menjadi kesayangannya di antara semua anak kecil di
desa itu.
Pada suatu hari, ketika Jan sedang
menambat keledainya di depan rumah keluarga Blake. Si Clara keluar
sambil menari-nari kegirangan. "Pak Jan! Pak Jan! Rasanya aku
tahu dari mana Pak Jan bisa mendapat Alkitab bahasa Filandia!" serunya.
"Nih, coba lihat! Aku diberi ini di Sekolah Minggu."
Si Clara menggenggam sebuah lembaran.
"Nih lihat!" katanya dengan penuh semangat. "Ada
ayat Alkitab, dicetak dalam macam-macam bahasa."
Jan meraih lembaran itu. Betul, ada
banyak bahasa yang dipaparkan di situ.
Si Clara bersandar pada sisi Jan sambil
menuding pada halaman kecil itu dengan telunjuknya. "Bahasa
Tionghoa," bacanya. "Bahasa Jepang. Bahasa Belanda. Bahasa
Italia." Mereka berdua terus menyelidiki isi lembaran itu.
"Ah!" Tiba-tiba Jan bernapas
panjang. "Ini dia! Ini dia!"
Ia sudah menemukan ayat itu yang
tercetak dalam bahasa Filandia. Berkali-kali Jan membaca ulang
kata-kata itu, yang sejak dahulu masih diingatnya baik-baik. Dalam
bahasa ibunya, kata-kata itu (yang kelihatannya aneh-aneh pada mata si
Clara) menyatakan berita yang indah, sama seperti Yohanes
3:16 dalam bahasa apa saja:
"Karena begitu besar kasih Allah
akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang
tungal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan
beroleh hidup yang kekal."
"Sama!" kata Jan; mukanya
berseri-seri. "Persis sama seperti dalam Alkitabku
dulu!"
Lalu senyumannya itu pudar.
"Tapi cuma satu ayat. Memang indah, tapi cuma satu ayat."
Clara membalik lembaran itu. "Pak
Jan, mari kita menulis surat ke alamat ini," usulnya.
"Mungkin di sana ada Alkitab lengkap dalam bahasa Filandia."
Ibu si Clara yang menuliskan surat
itu untuk Jan. Tetapi si Clara sendirilah
yang rajin memeriksa kotak pos. Hari
demi hari ia meneliti tiap surat yang
masuk.
Akhirnya ada surat yang datang dengan
"Lembaga Alkitab Amerika, New York" sebagai alamat si
pengirim. Surat itu disimpan baik-baik untuk Jan. "Mengapa Pak
Jan tidak datang-datang?" tanya si Clara hari demi hari.
Setelah lewat hampir satu minggu,
Baru Jan muncul kembali. Seluruh keluarga Blake berdiri
disampingnya ketika si penggali tua itu membuka suratnya.
Betul, katanya, sebuah Alkitab dalam
bahasa Filandia dapat dipesan, demikianlah pemberitahuan dalam
surat itu. Terlampir juga penjelasan tentang harga, dan tentang
cara mengirim pesanan.
Keesokan harinya, sepucuk surat balasan
sudah dikirim ke kota New York, dan sebuah poswesel sudah dibeli
di kantor pos desa.
Tidak lama kemudian, tibalah sebuah
pospaket untuk Jan. Pak dan Ibu Blake, si Clara, dan semua
tetangga mereka berkumpul untuk melihat penggali tua membuka pospaketnya
itu. Tangannya yang sudah kisut itu terlihat masih kuat pada saat ia
memutuskan tali pospaketnya dan menyobek bungkusannya. Lalu ia pun mulai membuka
dos kecil yang ada di dalamnya. Si Clara menahan napas.
Ah! Ada harta di dalam dos itu: Seluruh Firman Tuhan dalam bahasa Filandia.
Tangan Jan gemetar sedikit ketika ia
mengangkat Buku itu dari dosnya. Dibukanya Kitab Mazmur, . . .
lalu Injil Matius, . . . lalu Kisah Para Rasul.
"Sama! Persis sama! Semuanya
sama!" bisiknya.
Lalu ia melihat ke sekelilingnya.
Wajah-wajah para tetangganya berseri-seri semuanya.
"Sepanjang umur, aku ingin menambang emas," kata Jan. "Kalau
dapat menggali emas, aku jadi kaya." Lalu senyumannya menjadi
lebih lebar lagi. "Nah, ini dia! Aku sudah menambang emas!
Harganya lebih dari apa saja yang dapat kugali di lereng gunung
sana!"
Dibungkusnya kembali hartanya itu!
Dimuatnya pada punggung keledai kecilnya, bersama dengan semua
bekal yang baru dibelinya.
Clara Blake dan orang tuanya melihat si
penggali tua itu mendaki jalan yang sempit. Pelan-pelan ia menuju
gubuknya yang sepi, di ngarai di balik bukit.
Pada malam itu, mereka tahu bahwa Jan
pasti akan menyalakan lampunya. Ia akan merapatkan kursinya ke
meja. Dan ia akan meletakkan hartanya yang baru di atas meja.
Jari-jarinya akan mengikuti baris demi baris dari pasal-pasal kesayangannya.
Dan si penggali tua itu dengan senang hati akan membaca dengan keras
kata-kata indah itu yang dikiranya sudah kehilangan selamanya dari
pandangan matanya.