PENERJEMAH
PERJANJIAN BARU YANG PALING GIGIH
|
karyadim642.blogspot.com |
Di antara ratusan suku bangsa dalam
negara kesatuan Indonesia, suku manakah yang terbanyak orangnya?
Di antara ratusan suku bangsa itu,
suku manakah yang orang-orangnya terpilih menjadi baik Presiden pertama maupun
Presiden kedua Republik Indonesia?
Tentu saja, hanya ada satu jawaban
yang benar bagi kedua pertanyaan tadi, yaitu: suku Jawa.
Nah, perhatikanlah pertanyaan yang
ketiga ini:
Siapakah yang mula-mula memberi
hadiah terbesar kepada suku Jawa, yaitu: Kitab Perjanjian Baru yang tertulis
dalam bahasa mereka sendiri?
Jawaban atas pertanyaan itu, sama
juga dengan judul pasal ini: "Penerjemah Perjanjian Baru yang Paling
Gigih."
Siapakah dia itu? Dan mengapa banyak
seseorang yang bersifat "paling gigih" itu yang sanggup memberi
hadiah kepada orang-orang Jawa berupa Firman Tuhan yang tertulis dalam bahasa
Jawa?
Namanya, Gottlob Bruckner. Ia lahir
pada tahun 1783 sebagai salah seorang di antara enam putra dalam keluarga
seorang petani di desa Linda, daerah Saksen, di negeri Jerman.
Pembaca
yang tahu bahasa Jerman, akan tahu pula bahwa keluarga Bruckner adalah orang-orang
Kristen yang amat saleh. Buktinya? Nama yang diberikan kepada seorang anak
laki-laki dalam keluarga itu: "Gottlob" berarti "Puji
Allah!"
Sering
ayah si Gottlob menyanyikan lagu-lagu rohani dengan keenam putranya.
Malam-malam
ia suka membacakan buku-buku Kristen kepada mereka.
Sesudah
Gottlob Brucner mencapai umur dua puluh tahun, ia meninggalkan rumah orang
tuanya di desa untuk mengadu nasib di kota. Ayahnya menangis pada saat mereka
berpisah. "Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang
mati!" seru sang ayah pada waktu pemuda itu hendak menempuh perjalanan.
Gottlob
Bruckner mengenali perkataan ayahnya itu sebagai kutipan ayat dari Kitab Perjanjian
Baru. Ia pun menyadari bahwa isi Firman Allah itu sangat penting bagi ayahnya.
Si
Gottlob tidak mempunyai uang untuk naik kendaraan umum. Delapan hari lamanya ia
berjalan kaki, baru ia tiba di ibu kota Berlin.
Selama
mencari pekerjaan tetap di kota, Gottlob Bruckner mulai berkenalan dengan beberapa
pemuda lainnya. Dan melalui perkenalan itu ia pun mulai ragu-ragu tentang
kebenaran isi Alkitab. Sungguh pentingkah kitab kuno itu, untuk kaum muda yang
hidup berabad-abad terkemudian?
Syukurlah,
si Gottlob juga berkenalan dengan seorang gembala sidang di kota Berlin.
Khotbah-khotbah pendeta itu menyebabkan dia banyak berpikir dan banyak berdoa.
Untuk pertama kalinya ia sengaja memihak Tuhan Yesus Kristus atas keputusannya
sendiri, dan bukan karena ia ikut-ikutan kepercayaan orang tuanya.
Pendeta
di Berlin itu sering menerjemahkan dan membacakan surat-surat dari Dr.William
Carey. William Carey berasal dari rakyat biasa di negeri Inggris, sama seperti
Gottlob Bruckner berasal dari rakyat biasa di negeri Jerman. Pada waktu si
Gottlob masih sibuk membajak ladang milik ayahnya, William Carey telah meninggalkan
tanah airnya dan pergi ke India sebagai utusan Injil. Setelah tujuh tahun
lamanya ia memberitakan Kabar Baik di sana, baru ada orang-orang India yang
rela percaya kepada Tuhan Yesus. Namun surat-surat yang masuk dari Dr. Carey
pada tahun-tahun 1800-an itu melaporkan adanya banyak orang Kristen baru
di
negeri India.
Suara hati
Gottlob Bruckner seolah-olah berbisik: Engkau pun harus menjadi utusan Injil!
Gembala
sidang di ibu kota yang telah menemaninya itu juga menyelenggarakan semacam
kursus ketrampilan untuk calon penginjil. Hal itu amat menguntungkan bagi si
Gottlob. Pendidikannya sangat kurang, sehingga pasti ia tidak memenuhi syarat
masuk ke sekolah kependetaan biasa.
Selama
satu setengah tahun Gotllob: Pendidikannya sangat kurang, sehingga pasti ia
tidak memenuhi syarat masuk ke sekolah kependetaan biasa.
Selama
satu setengah tahun Gottlob Bruckner berguru kepada pendeta di Berlin itu.
Kemudian ia dikirim ke negeri Belanda untuk meneruskan pendidikan teologinya.
Tidak
mudah bagi pemuda keluarga petani dari daerah Saksen itu untuk pergi merantau
dan mempelajari bahasa asing! Bahasa Belanda agak mirip dengan bahasa Jerman,
namun mengikuti kuliah dalam bahasa Belanda itu merupakan suatu tantangan
besar. Tetapi Gottlob Bruckner bersifat paling gigih. Ia tekun belajar, dan ia
tetap berkuliah selama tiga tahun.
Pada
tahun 1811, suatu badan zending umat Kristen di Belanda sudah siap mengirim Gottlob
Brukner dan dua kawan seangkatannya sebagai utusan Injil. Tetapi rupanya mustahil
mereka dapat melaksanakan rencana itu. Kaisar Napoleon dari Perancis telah
mengobarkan perang di mana-mana di benua Eropa, sehingga semua kapal batas antarnegara
itu tertutup. Negeri Belanda sendiri sedang dijajah oleh orang Perancis.
Kapal-kapal laut tidak boleh berlayar: Pelayaran itu dikhawatirkan akan membawa
untung untuk negeri Inggris, musuh kawakan Kaisar Napoleon.
Mula-mula
badan zending di Belanda mengirim Gottlob Bruckner dan kedua kawannya itu ke
Jerman lagi selama satu tahun, untuk berkuliah lebih lanjut. Lalu mereka mendapat
akal: Ketiga calon utusan Injil itu dapat menyamar menjadi rakyat biasa.
(Memang mereka itu rakyat biasa, walau sudah dipersiapkan untuk tugas khusus.)
Dengan diam-diam mereka dapat melintasi tapal batas dari Jerman ke Denmark,
lalu dari Denmark ke Swedia, kemudian dari Swedia ke Inggris. Akhirnya dari
Inggris mereka dapat dikirim sebagai utusan Injil.
Gottlob
Bruckner tidak tahu kapan ada kemungkinan ia harus dapat melarikan diri dari
pihak yang berwajib. Jadi, tak mungkin ia membawa serta koper-kopernya yang besar
hanya satu jinjingan yang kecil saja. Ia pun tidak tahu kapan kemungkinan ia
akan digeledah oleh para pengawal tapal batas negeri. Jadi, tak mungkin ia membawa
serta surat perkenalan dari badan zending di Belanda itu kepada badan zending
di Inggris: Boleh jadi ia ditembak mati atas tuduhan menjadi mata-mata orang
Inggris!
Sesuai
dengan dugaan sebelumnya, polisi Jerman di kota Hamburg hendak menghambat rencana
perjalanan ketiga calon utusan Injil itu. Akhirnya mereka berhasil meloloskan
diri ke negeri Denmark. Dari sana mereka naik sebuah kapal layar nelayan ke
Swedia, lalu naik kapal laut lain lagi dari Swedia ke Inggris. Perjalanan yang
berputar-putar jauh itu memakan waktu dua bulan.
Umat
Kristen di negeri Inggris menyambut mereka dengan gembira. Namun sebelum ketiga
calon itu dapat diangkat menjadi utusan Injil, mereka harus diuji dulu. Tentu
saja ujian itu diberikan dalam bahasa Inggris, . . . dan tentu saja tidak ada
seorang pun yang lulus. "Kalian harus belajar lebih banyak lagi," demikianlah
keputusan badan zending di negeri Inggris itu.
Seseorang
yang bersifat kurang gigih mungkin akan pulang saja ke daerah Saksen. Tetapi
Gottlob Bruckner adalah seorang yang paling gigih. Ia rajin belajar bahasa
Inggris seperti ia dulu rajin belajar bahasa Belanda. Setelah satu tahun berkuliah
di sebuah seminari teologia di negeri Inggris, ia ditahbiskan serta dilantik
menjadi utusan Injil.
Nah,
masih ada persoalan: Ke mana ia akan diutus? Ada orang Kristen yang mengusulkan
Guyana, di benua Amerika Selatan. Ada yang menyarankan pulau Malagasy yang
besar, yang letaknya dekat pantai timur benua Afrika. Ada pula yang
mengutarakan Jawa, sebuah pulau besar yang penduduknya lebih banyak lagi daripada
penduduk pulau Malagasy. Dalam peperangan melawan Kaisar Napoleon, negeri
Inggris telah merebut pulau Jawa itu dari negeri Belanda. Jadi, hubungan laut
antara Inggris Raya dengan pulau Jawa sedang terbuka.
Sementara
itu, Kaisar Napoleon terlihat bakal kalah secara tuntas. Dengan menjelangnya
masa perdamaian lagi, koper-koper besar yang memuat seluruh harta milik Gottlob
Bruckner itu dapat dikirim lewat Terusan Inggris ke Ibu kota London. Tetapi
kemudian gudang tempat penampungan barang-barang miliknya itu kebakaran, dan
seluruh isinya musnah jadi abu.
Namun
Gottlob Bruckner masih tetap bersifat gigih. Ia melupakan kerugiannya serta
kekecewaannya. Tepat pada tanggal 1 Januari 1814, ia berangkat menuju tempat
pelayanannya sebagai utusan Injil. Kapal yang ditumpanginya itu nyaris tenggelam
dalam topan dekat khatulistiwa, namun akhirnya sanggup membuang sauhnya di
Afrika Selatan. Di sana Pdt. Bruckner dan kedua kawannya itu giat berkhotbah
kepada orang berkulit putih dan orang berkulit hitam, sampai ada kapal lain
yang siap mengantar mereka ke kepulauan Indonesia.
Ketiga
orang itu mendarat di Ibu kota Jakarta. Di situ mereka disambut dengan hangat
oleh Gubernur Raffles yang tersohor. Lalu Pdt. Bruckner berpamitan, dan seorang
diri ia naik kapal lagi menuju Semarang. Dua kali kapalnya diserang oleh bajak
laut. Setelah mendarat lagi, ia harus berjalan kaki melalui hutan tempat harimau
masih berkeliaran.
Di
kota Semarang ia menjadi gembala sidang di sebuah gedung gereja besar, yang telah
didirikan oleh orang Belanda jauh sebelum Pdt. Bruckner lahir. (Gedung yang
terbuat dari batu itu hingga kini masih dapat dilihat: Letaknya di Jalan Raden
Saleh, tidak jauh dari pelabuhan lama di Semarang.) Kebanyakan anggota gereja
itu orang Belanda atau orang Indo.
Hanya
empat bulan setelah ia tiba di Semarang, Gottlob Bruckner menikah dengan putri
seorang pendeta Belanda yang sudah tua. Kemudian suami istri itu dikarunia anak
satu demi satu, sampai ada delapan bayi lahir dalam keluarga mereka. Tetapi pada
masa itu belum ada obat yang mujarab untuk berbagai macam penyakit yang menyerang
anak kecil di daerah tropika; empat orang di antara kedelapan anak dalam
keluarga Bruckner itu meninggal pada waktu masih kecil.
Pada
suatu hari ketika Pdt. Bruckner sedang bepergian ke Surakarta dan Yogyakarta,
tibalah dua utusan Injil baru di Semarang. Mereka itu Pdt. dan Ibu Thomas
Trowt, orang-orang Baptis dari Inggris. Ternyata Gottlob Bruckner dan Tom Trowt
seumur; tidak lama kemudian mereka juga menjadi sahabat karib. Pdt. Bruckner
kagum akan kepintaran Pdt. Trowt, dan juga kagum akan ketekunannya mempelajari
bahasa Jawa.
Gottlob
Bruckner sendiri telah pandai berbahasa Melayu, bahasa Indonesia kuno. Dengan
cepat ia menyadari bahwa kebanyakan anggota gereja sesungguhnya tidak mengerti
khotbah-khotbah dalam bahasa Belanda. Yang lebih penting lagi: Kebanyakan di
antara mereka itu tidak mengerti sama sekali apa artinya menjadi orang Kristen.
Pdt. Bruckner makin lama makin sedih melihat orang-orang yang hidupya jahat
sepanjang minggu, namun mereka rajin ke gereja pada hari ibadah. Dan sebagai
gembala sidang ia wajib menyambut mereka di gedung batu yang besar itu,
seakan-akan merekalah orang-orang Kristen yang tulen.
Gottlob
Bruckner banyak berbincang-bincang dengan Tom Trowt mengenai masalah itu. Ia
banyak berpikir tentang arti pembabtisan. Ia pun banyak belajar Kitab Perjanjian
Baru.
Akhirnya
ia mengambil suatu keputusan. Pada hari Minggu, tanggal 31 Maret 1816, ia
menaiki tangga ke mimbar tinggi dalam gedung gereja yang terbuat dari batu itu.
Dari Alkitab bahasa Belanda ukuran besar yang terletak di atas mimbar itu, ia
pun membacakan nas khotbahnya dari Kitab Injil (Yohanes 5:39-40)
"Kamu
menyelidiki Kitab-Kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa olehnya kamu mempunyai
hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-Kitab Suci itu memberi kesaksian
tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup
itu."
Lalu
Pdt. Bruckner sungguh mengagetkan jemaatnya: "Aku akan dibaptiskan,"
ia mengumumkan. "Sekarang aku
mengerti bahwa Alkitab mengajar agar kita dibaptiskan dengan diselamkan setelah
kita sendiri percaya kepada Tuhan Yesus secara pribadi, dan bukan
sebelumnya."
Hari
Minggu yang berikutnya, Tom Trowt membaptiskan Gottlob Bruckner dalam Kali Banjir
Kanal, yang mengalir melalui kota Semarang sampai ke muaranya di Laut Jawa.
Banyak anggota gereja Belanda yang datang menyaksikan upacara itu. Tetapi tidak
lama kemudian, mereka memecat Pdt. Bruckner dari jabatannya sebagai gembala
sidang.
Untung,
ia masih mempunyai sebuah rumah (mungkin warisan dari ayah mertuanya). Ia
mengajak Pdt. Trowt sekeluarga untuk tinggal bersama-sama dengan dia. Tetapi hanya
enam bulan kemudian, Tom Trowt meninggal. Badan zending di Inggris itu tak mungkin
mengirim seseorang sebagai penggantinya. Peperangan sudah mereda, dan pulau
Jawa sudah dikembalikan kepada bangsa Belanda.
Pdt.
Bruckner menyambut perkembangan sejarah itu dengan menulis surat kepada Dr.William
Carey di India, dan kepada orang-orang Baptis di Inggris yang mendukung pelayanan
Dr. Carey. Sebagai akibatnya, ia sendiri ditunjuk sebagai pengganti Thomas
Trowt, dengan sokongan tetap dari umat Baptis di negeri Inggris.
Gubernur
baru yang ditunjuk oleh Negeri Belanda itu bertitah: "Semua utusan Injil
dari Inggris harus meninggalkan pulau Jawa." Tetapi Pdt. Bruckner dapat membuktikan
bahwa ia seorang Jerman, yang pandai juga berbicara bahasa Belanda.
Maka ia diizinkan terus menetap di Jawa Tengah.
Sebelum ia
meninggal, Tom Trowt telah mulai menyiapkan suatu kamus bahasa Jawa. Ia juga
telah mulai menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa. Hasilnya tidak seberapa, dan karyanya yang sedikit itu
pun sudah hilang. Namun Gottlob Bruckner, orang yang paling gigih itu, bersedia
meneruskan tugasnya.
Bahasa
Jawa ternyata jauh lebih sulit daripada bahasa Jerman, bahasa Belanda, bahasa
Inggris, atau pun bahasa Melayu. Setiap pagi Pdt. Bruckner bergumul dengan
buku-buku dan guru-guru. Setiap sore ia berjalan kaki melalui desa dan kampung,
sambil berusaha mengucapkan kata-kata yang dapat dipahami oleh penduduk setempat.
Ternyata
orang-orang Jawa tidak mau mendengar Kabar Baik mengenai Tuhan Yesus. Rupanya
pulau Jawa adalah ladang penginjilan yang lebih sulit lagi daripada negeri
India pada saat William Carey mula-mula pergi ke sana.
Lambat
laun Gottlob Bruckner menyadari betapa pentingnya isi Alkitab dalam bentuk
tertulis disampaikan kepada suku Jawa. Jadi, dengan gigih ia melanjutkan tugas
terjemahannya. Pada tahun 1819 ia sudah menyelesaikan keempat Kitab Injil. Pada
tahun 1820 ia sudah mengerjakan seluruh Perjanjian Baru. Pada tahun 1823 ia sudah
memperbaiki naskah-naskahnya dan merasa bahwa semuanya itu sudah rampung, siap
untuk dicetak.
Tetapi soalnya,
bagaimanakah Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa itu dapat dicetak?
Umat Kristen di
negeri Inggris mengirimkan sebuah mesin cetak kepada Gottlob Bruckner. Namun
sayang, tidak ada seorang pun di seluruh pulau Jawa yang tahu bagaimana
menjalankannya. Lagi pula, aksara-aksara Jawa itu berbeda daripada huruf-huruf
semua bahasa lainnya di seluruh permukaan bumi.
Di samping itu,
masih ada juga soal lain. pada tahun-tahun 1820-an, Pangeran Diponegoro tengah
mengobarkan pemberontakan melawan kuasa penjajah. Gubernur Belanda tidak mau
mengizinkan apa-apa yang mungkin akan menghasut rakyat, .. . atau pun yang
mungkin akan mengurangi laba dari perkebunan-perkebunan besar yang diusahakan
di pulau Jawa.
Gottlob Bruckner
memang seorang penerjemah Perjanjian Baru yang paling gigih. Namun ia hampir
putus asa . . . ketika pada suatu hari ia menerima sepucuk surat dari India.
Selama 35 tahun William Carey setia melayani Tuhan Yesus di sana. Dalam
suratnya tadi Dr. Carey mengajak Pdt. Bruckner untuk datang mengunjunginya, dengan membawa serta naskah-naskah yang
berharga, yaitu Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa.
Pada
tahun 1828 Pdt. Bruckner berpamitan dengan istrinya dan kedua putrinya yang masih
kecil. Dengan disertai kedua putranya, ia pun berlayar menuju benua India. Tak
terlintas dalam pikirannya bahwa ia akan tetap terpisah dari keluarganya itu selama
tiga tahun.
Setibanya
di India, mula-mula ia harus mengajar para tukang cetak yang bekerja di bawah pengawasan
William Carey, tentang bagaimana caranya mengukir bentuk-bentuk yang menyerupai
huruf-huruf bahasa Jawa. Lalu ia sendiri harus uji coba setiap halaman yang
mereka cetak: Selain dia, tidak ada seorang pun di seluruh India yang mengerti
apa arti aksara-aksara yang sangat khas kelihatannya itu.
Putra
sulung Gottlob Bruckner, seorang bocah berumur tiga belas tahun, jatuh sakit
dan meninggal, jauh dari rumah dan ibunya. Pdt. Bruckner sendiri jatuh sakit
parah, sehingga ia harus mengungsi untuk sementara ke kota Malaka dan beristirahat
di sana.
Namun
tugas besar itu akhirnya juga selesai. Dengan ditemani oleh putra satu-satunya yang
masih hidup, Pdt. Bruckner berlayar lagi menuju Indonesia. Ruang di bawah geladak
kapal laut itu memuat barang yang sangat berharga: Dua ribu Kitab Perjanjian
Baru dalam bahasa Jawa, dua puluh ribu surat selebaran dalam bahasa Jawa,
bungkusan-bungkusan kertas, dan seperangkat aksara bahasa Jawa untuk dicocokkan
pada mesin cetak guna membuat cetakan-cetakan ulang.
Di
dekat pulau Kalimantan, kapal itu dilanda topan. Pdt. Bruckner dan putranya harus
memegang tiang layar; kalau tidak, mereka akan terbawa hanyut oleh ombak besar.
Bahkan nahkoda kapal berteriak, "Tidak ada harapan lagi!"
Namun
Tuhan mengindahkan doa-doa yang tulus pada hari itu. Sebuah kapal yang setengah
reyot dapat dengan susah payah mencapai tempat berlabuh di pulau Jawa.
Setelah
ia pulamg ke Semarang, Gottlob Bruckner hampir tidak mempynyai waktu untuk
bersalaman dengan istrinya dan kedua putrinya. Lima hari pertama setelah ia
tiba itu adalah hari-hari yang penuh dengan kegemparan. Sebanyak tujuh ribu surat
selebaran dalam bahasa Jawa dibagi-bagikan kepada rakyat yang berdesakan memperolehnya.
Tetapi
pemerintah penjajah masih kurang menyetujui apa pun yang diperkirakan akan
membangkitkan semua suku Jawa. Sepasukan tentara datang dan menyita sisa surat-surat
selebaran itu, serta hampir semua Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa.
Hanya karya Gottlob Bruckner seumur hidupnya itu dikunci dalam sebuah almari besi
di ibu kota Jakarta.
Namun
Pdt. Bruckner tetap gigih, dan tetap mencari akal. Ia masih mempunyai bungkusan-bungkusan
kertas itu, serta aksara-aksara bahasa Jawa yang dapat dicocokkan pada mesin
cetak. Dengan diam-diam ia mencetak lagi surat-surat selebaran. Sedikit demi
sedikit ia mengedarkannya di antara orang-orang Jawa. Maka Kabar Baik dalam
bahasa Jawa itu tetap tersebar luas.
Pdt. Bruckner juga mengambil
tindakan khusus dengan dua di antara Kitab-Kitab Perjanjian Baru Bahasa Jawa
yang masih ada pada dia: Salah satunya diposkan kepada raja Belanda, dan yang
satunya lagi diposkan kepada raja Prusia (yaitu sebagian dari negeri Jerman).
Raja Prusia mengirimi dia sebuah medali emas sebagai tanda kehormatan atas
prestasi kesarjanaannya yang besar. Tetapi raja Belanda melakukan sesuatu yang
sesungguhnya lebih berguna: Ia mempengaruhi para pemerintah Belanda sehingga
mereka mengubah kebijaksanaan mereka tentang soal kebebasan beragama di pulau
Jawa.
Sedikit demi sedikit isi lemari besi
di Jakarta itu dikirim kmbali ke Semarang. Dan tentu saja Gottlob Bruckner
membagikan Kitab-Kitab Perjanjian Baru dan surat-surat selebaran itu kepada
orang-orang Jawa.
Namun sedikit sekali di antara
orang-orrang Jawa itu yang percaya kepada Tuhan Yesus! Badan zending umat
Baptis di negeri Inggris sering mendesak Pdt. Bruckner supaya ia mundur saja,
lalu pindah ke benua India. Tetapi Gottlob Bruckner adalah seorang yang paling
gigih. Ia masih tetap percaya bahwa benih Injil yang ditaburkannya itu akhirnya
juga akan berbuah.
Memang betul, ada panen rohani yang
sudah mulai bertunas semasa hidup Gottlob Bruckner. Anehnya, . . . hasil
pertama itu dituai bukan di Semarang atau pun di daerah sekitarnya, melainkan
di tempat yang jauh, di Jawa Timur.
Ketika umur Pdt. Bruckner sudah
mendekati enampuluh tahun, ia sempat berlayar menelusuri pantai utara pulau
Jawa sampai ke Surabaya. Di kota pelabuhan yangbesar itu, ia berkenalan dengan
bebeapa orang Jawa yang telah percaya kepada Tuhan Yesus. Ketika ia masuk ke
pedalaman, ia pun menemukan lebih banyak lagi petobat baru.
Ada seorang sepuh yang mengetuai
jemaat kecil di seluruh Desa."bagaimana Bapak sampai mendengar tentang
Tuhan Yesus?" tanya Pdt. Bruckner kepada orang yang sudah tua itu.
"Selama
dua puluh empat tahun, akulah yang memanggil umat beragama di desa ini, agar
mereka bersembahyang," jawab bapak itu." Lalu pada suatu hari,
seseorang memberi aku lembaran kecil ini." Dan ia menyodorkan kepada
tamunya itu sehelai surat selebaran yang telah diterbitkan oleh Gottlob
Bruckner sendiri.
Betapa
bahagianya hari-hari yang dihabiskan oleh Pdt. Bruckner dalam bersekutu dengan
umat Kristen di desa itu! Betapa senangnya dia oleh karena dengan gigihnya ia
telah pantang mundur menaburkan benih Injil berbentuk Firman Tuhan yang
tertulis dalam bahasa Jawa!
Sampai
akhir hayatnya, tanpa mengenal lelah Gottlob Bruckner memberi kesaksiannya
tentang Tuhan Yesus. Namun selama masa hidupnya itu hanya ada sedikit orang
Jawa yang menjadi percaya. Lagi pula, selama hampir satu abad sejak Pdt.
Bruckner meninggal pada tahun 1875, tidak ada utusan Injil Baptis lainnya yang
datang dari negeri mana pun juga untuk meneruskan pelayanannya.
Namun
ada juga pengganti-pengganti Pdt. Bruckner dari aliran gereja lain. Menjelang
akhir hidupnya yang panjang itu, pemerintah penjajah mulai mengizinkan kedatangan
utusan-utusan Injil baru dari negeri Belanda ke pulau Jawa.
Mereka
itu menemukan suatu ladang penginjilan yang sudah dibajak, siap untuk usaha
penaburan mereka. Mereka menemukan Kitab perjanjian Baru yang sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Jawa. Mereka menemukan surat-surat selebaran, dan lagu-lagu
rohani, dan kamus serta daftar kosa kata yang sangat
berfaedah, agar dengan lebih mudah mereka dapat mulai menyampaikan Kabar Injil
di antara suku Jawa.
Pada
abad yang kedua puluh ini, sudah ada ribuan, bahkan ratusan ribu orang Jawa yang
telah menjadi pengikut Tuhan Yesus. Namun gerakan Kristen yang besar itu mungkin
sekali tidak pernah akan terjadi, seandainya hampir dua abad yang lalu tidak
ada seorang penerjemah Perjanjian Baru yang paling gigih.
TAMAT