Rabu, 08 Mei 2013
PELIKNYA TRANSLATE ALKITAB DENGAN BAHASA SETEMPAT
PELIKNYA TRANSLATE ALKITAB DENGAN BAHASA SETEMPAT
Bagaimana
kita dapat mengatakan unta dalam bahasa yang dipakai oleh suku Eskimo?"
Itu
salah satu persoalan pelik yang membuat pusing para penerjemah Alkitab di sebelah
utara negeri Kanada.
"Tidak
ada kata untuk unta dalam bahasa suku Eskimo," kata penerjemah yang satu kepada
penerjemah yang lain. "Lagi pula, tidak ada seorang Eskimo pun di daerah dingin
di sebelah utara ini yang pernah melihat seekor unta."
Pada
waktu itu, belum ada televisi atau video ataupun bioskop. Tidak ada cara yang
tepat untuk dapat memperlihatkan kepada suku Eskimo, binatang macam apa seekor
unta itu. Padahal kata unta berkali-kali diperlakukan dalam terjemahan Firman
Tuhan.
Persoalan-persoalan
pelik seperti itu sering membuat pusing para penerjemah Alkitab. Sepanjang abad
mereka harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti:
"Bagaimana
kita dapat mengatakan hal ini? Kata apa yang tepat untuk maksud ini?
Bagaimana
paham ini dapat kita gambarkan dengan kata-kata sehingga mulai dipahami.
padahal pahamnya sendiri belum pernah trpikirkan?"
Di
seluruh dunia di pegunungan tinggi, di hutan rimba, di gurun pasir, di padang pasir,
di padang luas yang berlapis salju tiap kali para penerjemah berusaha mengalihbahasakan
Firman Tuhan, mereka pun menghadapi banyak persoalan pelik. Tidak heran jikalau
mereka sering dibuat pusing olehnya!
Para
sarjana yang hendak menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa suku Eskimo itu,
akhirnya
harus menggambarkan unta sebagai binatang semacam rusa besar yang aneh.
Berikut
ini ada beberapa contoh lain dari kata-kata yang ternyata sulit diterjemahkan.
Namun dengan berbagai-bagai cara para penerjemah akhirnya juga dapat memecahkan
setiap persoalan pelik itu, misalnya sebagai brikut:
"Karena
kasih karunia kamu diselamatkan," demikianlah seorang penerjemah pernah membaca
dari Efesus 2:8.
"Bagaimana paham kasih karunia itu tinggal di pulau daerah Lautan Pasifik
ini?"
Akhirnya
ditemukan sebuah kata. Artinya, pemberian. Tetapi bukan sembarangan pemberian!
Maksudnya jauh lebih dalam daripada itu.
Artinya,
pemberian tanpa imbalan, pemberian yang semestinya tidak diberikan. Lagi pula,
yang menerima pemberian macam itu tidak usah membayar.
Namun
ternyata maksudnya masih lebih dalam lagi.
Artinya,
pemberian yang menyatakan kebaikan terhadap seseorang yang seharusnya justru
diperlakukan dengan tidak baik, setimpal dengan perbuatannya sendiri yang tidak
baik itu.
Nah,
bagaimana sang penerjemah dapat menemukan sebuah kata dengan arti yang
sedemikian
dalam?
Ia
mula-mula mendengar istilah itu pada waktu ia memberikan sesuatu kepada seseorang.
Ada teman-temannya di antara suku setempat di pulau itu yang sangat tidak
setuju. "Mengapa Bapak mau memberikan sesuatu kepada orang itu?"
mereka memprotes. "Dia kan musuh Bapak!"
Lalu
mereka memakai kata yang sudah lama dicari-cari itu: "Bapak telah memberikan
yang baik kepada seseorang yang seharusnya justru menerima yang tidak baik!"
Banyak
istilah kiasan yang dipakai dalam berbagai macam bahasa! Misalnya, dalam bahasa
Indonesia sang surya disebut: matahari . . . padahal kita semua tahu bahwa hari
itu sesungguhnya tidak mempunyai mata. Demikian juga kita suka mengatakan mata
kuliah, dan mata air, dan mata rantai, dan mata uang.
Tetapi
apa gerangan maksud istilah mata jarum, yang biasa dipakai dalam bahasa Inggris?
Hal yang sama itu, oleh suku Indian Otomi di Meksiko disebut: telinga jarum.
Suku Indian Kekchi di Guatemala menyebutnya: muka jarum. Dan dalam salah satu
bahasa lain lagi, hal yang sama juga disebut: kaki jarum.
Apakah
jarum itu mempunyai mata? telinga? muka? kaki?
Mungkin
sudah dapat diterka bahwa maksud yang sebenarnya dari semua istilah itu ialah:
lubang jarum. Tuhan sendiri menyebutkannya secara kiasan dalam Markus 10:25, dikaitkan dengan unta tadi.
Menurut
Markus 15:29, banyak orang mengejek Tuhan Yesus pada saat Ia disalibkan,
dengan "menggelengkan kepala mereka." Tetapi dalam bahasa Subanun di Philipina,
ayat itu harus diterjemahkan: "menganggukkan kepala mereka." Soalnya,
suku Subanun di pulau Mindanao itu biasa mengejek orang dengan
berangguk-angguk, dan bukan dengan bergeleng-geleng!
Dalam
Wahyu 3:20, Tuhan Yesus berkata: "Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk."
Tetapi dalam bahasa Zanaki di Tanzania, Afrika Timur, kalimat itu harus
diterjemahkan: "Aku berdiri di muka pintu dan memanggil." Soalnya,
jika ada orang dari suku Zanaki yang mengetuk pintu, pasti dia itu seorang
pencuri. Di sana pencuri suka datang pada waktu malam dan mengetuk pintu dulu,
kalau-kalau ada orang yang masih belum tidur. Jika tidak ada yang menyahut,
barulah si pencuri itu berani menerobos masuk.
Berikut
ini ada beberapa pertanyaan yang pernah harus dihadapi oleh para penerjemah
Alkitab di seluruh dunia; cara mereka menjawab tiap pertanyaan itu pun tertera
di sini:
Kata
apa yang harus kita pakai untuk guru?
Pengukir
pikiran.
Kata
apa yang harus kita pakai untuk pintu gerbang?
Mulut
jalan?
Kata
apa untuk timur?
Tempat
kelahiran pagi.
Kata
apa untuk awan?
Kegelapan
milik hujan.
Bagaimana
dengan kata mencium? Orang-orang yang tinggal di
sini
tidak pernah saling mencium.
Tetapi
mereka itu saling meniup ke dalam telinga.
"Putih
seperti salju" (#/TB Yesaya 1:18*) sama sekali tidak
berarti
untuk mereka yang tinggal di daerah
tropika
yang panas terik ini.
Namun
"putih seperti bulu burung bangau", mudah mereka pahami.
Adakah
kata dalam bahsa Bambara untuk paham menebus?" tanya seorang penerjemah Alkitab
di Afrika Barat. "Kata itu amat penting di dalam Alkitab, karena Tuhan Yesus
menebus kita dari kuasa dosa dan maut."
Seseorang
dari suku Bambara itu mengusulkan sebuah istilah yang secara harfiah berarti:
"Tuhan Yesus melepaskan kepala kita."
Tetapi
sang penerjemah itu bertambah bingung. "Bagaimana istilah itu dapat berarti
menembus?" tanyanya.
Lalu
orang Afrika itu bercerita, bagaimana dahulu kala para leluhurnya dijual sebagai
budak orang Arab. Tiap budak belian itu dirantai lehernya dan digiring melalui
kampung-kampung menuju pantai. Kalau kebetulan ada budak yang dilihat dan
dikenali oleh seorang kepala kampung, ia dapat menebus orang itu dengan membayar
sejumlah uang emas, gading, atau barang berharga lainnya. Bila harga tebusan
itu telah dibayar, maka rantai dicopot dari leher budak, sehingga kepalanya
lepas dari ikatan.
Maka
demikianlah caranya para penginjil suku Bambara pada masa kini suka bercerita
kepada orang-orang sebangsa mereka yang sedang duduk di sekitar api unggun:
"Tuhan Yesus telah datang ke dunia ini untuk melepaskan kepala kita dari kungkungan
dosa dan maut."
Di
antara suku Karre di pedalaman Afrika, para penerjemah Alkitab mendapat kesulitan
dalam mencari istilah yang tepat untuk Roh Kudus, yang datang sebagai Penghibur.
Berkali-kali mereka menerangkan fungsi Roh Kudus, misalnya: meneguhkan orang
Kristen, menghibur hatinya bila sedang berduka, menegakkan dan melindungi serta
membimbing orang Kristen itu.
Setelah
mendengar keterangan itu, para penduduk setempat segera berkata:
"Seseorang
yang jatuh di samping kita."
Namun
para penerjemah bertambah bingung: Apa gerangan maksudnya?
Orang-orang
dari suku Karre itu lalu menjelaskan:
"Bila
seseorang mengangkut pikulan yang berat, lalu jatuh sakit dalam perjalanan dan
tidak dapat berjalan terus sampai ke tujuannya, maka dia pasti kemalaman di jalan.
Itu berarti ia diancam akan dirampok oleh orang jahat atau diterkam oleh harimau.
Tetapi kalau kebetulan ada orang lain yang lewat dan orang itu berbelas kasihan
kepadanya, lalu merawatnya, melindunginya dari segala macam bahaya, dan membawa
dia ke tempat tujuannya, maka kita menyebut orang yang bersimpati itu: ‘seseorang
yang jatuh di samping kita’."
Jelas
sekali keterangan itu . . . sejelas perumpamaan Tuhan Yesus tentangorang
Samaria yang murah hati! Maka dalam Alkitab bahasa Karre, para penerjemah mulai
memakai istilah "seseorang yang
jatuh di samping kita" untuk Roh Kudus, Sang Penghibur.
"Kata!
Kata! Kata!" keluh Dr. Edwin Smith. "Seandainya aku mempunyai semua
kata
yang
kuperlukan, pasti terjemahan Alkitab ini dapat cepat selesai."
Dr.
Smith dan kawan-kawan sekerjanya di Malawi, Afrika Timur, sedang menerjemahkan
Alkitab ke dalam bahasa Ila, supaya Firman Tuhan dapat dibaca dan dipahami di
daerah itu.
Salah
seorang Afrika itu memandang Dr. Smith dengan raut muka yang menyatakan rasa
simpati. "Bahasa Ila yang kami pakai di sini memang kekurangan kata,
Pak," katanya. "Kadang-kadang tidak ada kata dalam bahasa kami yang
cocok dengan paham dalam Kitab Suci."
"Ya,
ya," kata Dr. Smith sambil iseng-iseng mengetuk-etukkan pensilnya di atas meja
tulisnya. "Namun aku yakin ada juga kata-kata yang cukup tepat, . . . asal
saja kita dapat menemukannya.
Mereka
kembali kepada tugas yang sedang mereka kerjakan bersama. "Nah, ini! Kata percaya
ini. Mazmur 56:4 berkata,
‘Waktu aku takut, aku ini percaya kepadaMu,’ Percaya! Tidak ada lagi kata
seperti itu dalam bahasa Ila."
Berulang
kali Dr. Smith berusaha menjelaskan paham percaya. Berbagai cara digunakannya
untuk menerangkan arti kata itu. Namun dengan segala jerih payahnya itu ia
belum juga berhasil menemukan istilah yang cocok.
"Ah!
Kita sudah capai." Dr. Smith meregangkan lengannya. "Sudah cukup lama
kita memeras otak dengan tugas terjemahan ini. Mari kita mengerjakan yang lain
saja.
Dinding
di ruang depan ini perlu dicat."
Dr.
Edwin Smith tidak sama seperti sarjana-sarjana tertentu yang takut tangannya akan
menjadi kotor kalau melakukan pekerjaan kasar sehari-hari. Maka ia sendiri pergi
mengambil sebuah tangga bambu yang sudah agak rusak. Dan ia pun menyadarkan
tangga itu pada dinding serta mulai mencat ruang depan.
Sambil
bekerja, Dr. Smith sempat mendengar percakapan kawan-kawannya. Padahal kawan-kawannya
itu merasa pasti bahwa karena sibuk mengecat, Dr. Smith tidak akan mendengar
apa yang mereka bisikkan. Ternyata mereka memberi komentar tentang pekerjaan
yang sedang dilakukan Dr. Smith.
Tiba-tiba
Dr. Smith berhenti bekerja; cat dibiarkannya mulai menjadi kering pada kuasnya.
Kata
apa yang baru saja didengarnya itu? Dalam benaknya ia mengulangi komentar tadi:
Seandainya aku jadi dia, aku tidak mau percaya pada tangga bambu yang
sudah
setengah rusak itu; lihat saja, nanti dia jatuh!
Percaya!
Nah, itu . . . istilah yang sudah lama mereka cari-cari!
Dr.
Smith memang hampir jatuh, tetapi hal itu disebabkan oleh karena ia berpaling
pada tangga bambu dan mengutip ayat tadi: “‘Waktu aku takut, aku ini percaya
kepadaMu.”’ Dan ia memakai istilah dalam bahasa Ila yang baru saja dipakai oleh
kawan sekerjanya itu.
Orang-orang
Afrika itu memandang kepadanya, terheran-heran. Lalu salah seorang di antara
mereka berseru: "Percaya! itukah arti istilahnya Pak?"
Berkali-kali
orang Afrika itu mengulangi Mazmur 56:4*, dengan memakai kata dalam bahasa Ila tadi: “‘Waktu aku takut,
aku ini percaya kepadaMu.”’ Berulang-ulang ia menghafalkannya sambil berpikir.
"Nah, barulah jelas, Pak. Baru kami mengerti maksudnya, jika dikatakan
bahwa kita harus percaya kepada Tuhan."
Dr.
Smith meneruskan pekerjaannya. Nanti cat akan menjadi kering semua, jika ia meninggalkan
tugasnya begitu saja. Namun ia hampir tidak dapat menahan diri. Ia ingin segera
turun dari tangga yang sudah agak rusak itu (walau ia memang percaya padanya).
Ia ingin segera kembali ke meja tulisnya dan mencatat istilah yang baru
ditemukannya itu, agar terjemahan Alkitab dalam bahasa Ila dapat menjadi
semakin jelas.
TAMAT
Langganan:
Postingan (Atom)