Senin, 30 Juni 2014
Sabtu, 28 Juni 2014
KERUBIM
karyadim642.blogspot.com/Cherubim |
A. Satu dari beberapa jenis makhluk kemalaikatan. Jenis yang ini
menjaga wilayah-wilayah yang kudus (Keluaran 25:18-22; 1 Raja 8:6-7).
B. Etimologinya tidak pasti:
1. Dari
bahasa Akkadian “pensyafaaat” atau “pengantara” antara Allah dan manusia
2. Dari
bahasa Ibrani ini kemungkinan merupakan suatu permainan kata, “kereta perang”
dengan “kerub” ( Yehezkiel 1; 10)
3.
Beberapa orang mengatakan ini berarti “penampakan yang kemilau”
C. Bentuk fisik – Ini sukar dipastikan karena beragamnya
penjelasan di dalam Alkitab dan beragamnya benuk-bentuk manusia-binatang yang
ditemukan di Timur Dekat kuno. Beberapa mengaitkan mereka dengan:
1. Lembu
Bersayap dari Mesopotamia
2.
Singa-Berkepala dan Bersayap Elang dari Mesir yang disebut “griffin”
3.
Makhluk Bersayap pada Hiram, tahta Raja Tirus
4. Sphinx
dari Mesir dan bentuk-bentuk serupa yang ditemukan dalam istana gading Ahab di
Samaria
D. Penjelasan Fisik
1. Bentuk Kerubim dikaitkan dengan Serafim dari
yesaya 6.
2. Contoh-contoh dari bentuk-bentuk yang berbeda
a. Jumlah muka
(1) dua - Yehezkiel
41:18
(2) empat - Yehezkiel
1:6, 10; 10:14,16,21,22
(3) satu - Wahyu
4:7
b. Jumlah sayap
(1) dua - 1 Raja 6:24
(2) empat – Yehezkiel ( 1:6,11; 2:23; 10:7,8-21)
(3) enam (seperti Serafim dari Yesaya 6:2) - Wahyu 4:8
PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI
Buku ini adalah suatu komentari panduan belajar, yang artinya
bahwa andalah yang bertanggung jawabterhadap penafsiran anda terhadap Alkitab.
Setiap kita harus berjalan dalam pandangan yang kita miliki. Anda, Alkitab, dan
Roh Kudus adalah prioritas dalam penafsiran.
Anda tidak boleh menyerahkan hal ini kepada komentator.
Pertanyaan-pertanyaan diskusi ini disediakan
untuk membantu anda untuk berpikir secara menyeluruh mengenai hal-hal pokok
dari bagian buku ini. Pertanyaan-pertanyaan ini bersifat tantangan berpikir,
bukan definitif.
1. Apakah
ini suatu alegori, mitos, atau cerita-kesejarahan?
2. Apakah
ular ini hurufiah dan apakah ia berbicara?
3. Apakah
ular itu disemangati dan dirasuk oleh si jahat? Jika demikian, bagaimana dan
mengapa?
4. Tahukah Allah apa
yang akan dilakukan Adam dan Hawa? Jika tahu, mengapa Ia mengijinkannya?
5. Jelaskan dalam
kata-kata sendiri tingkat perkembangan dari ujian si ular dan tuduhan khususnya
melawan Allah.
6. Bagaimana Allah
bisa, sebagai makhluk rohani, memiliki suatu tubuh?
7. Apakah
pasal 3 menerangkan kehadiran kejahatan dalam dunia kita dan kehadiran rasa
bersalah dalam hati manusia? Jika demikian, mengapa hal ini tidak didiskusikan
lebih lengkap dalam PL?
8. Apakah
si ular melayani sebagai hamba Allah untuk menguji manusia atau apakah ia telah
menjadi pemberontak melawan Allah (lih. Ayub 1-2 dan Zakharia 3)?
9. Mengapa Allah menghakimi binatang yang secara sederhana hanya
digunakan oleh setan?
10. Apakah ayat 15 suatu singgungan terhadap Mesias yang akan
datang atau hanyalah ketakutan Antara perempuan dengan ular?
3. Ciri-ciri istimewa lain
a. Tangan manusia -
Yehezkiel 1:8; 10:8,21
b. Kaki
(1) Lurus, tak ada
lutut - Yehezkiel 1:7
(2) Kaki anak lembu
- Yehezkiel 1:7
4. Flavius Yosefus mengakui bahwa tak seorangpun tahu seperti
apakah rupa dari kerubim ini.
E. Tempat dan maksud yang ditemukan di dalam Alkitab
1. Penjaga pohon kehidupan, Kejadia 3:24 (kemungkinan digunakan
secara penggambaran mengenai setan dalam Yehezkiel 28:14,16)
2. penjaga Tabernakel
a. Di atas Tabut
Perjanjian; Keluaran 25:18-20; Bilangan 7:89; 1 Samuel 4:4
b. Digambarkan pada
kerudung dan tirai; Keluaran 26:1,31; 36:8,35
3. Penjaga Bait Allah Sulaiman
a. Dua
kerub yang diukirkan di Ruangan Maha Suci; 1 Raja 6:23-28; 8:6-7; 2 Tawarikh
3:10-14; 5:7-9
b. Di
dinding dalam Bait Suci; 1 Raja 6:29,35; 2 Tawarikh 3:7
c. Di
panel-panel yang berhubungan dengan beberapa lapisan; 1 Raja 7:27-39
4. Penjaga dari Bait Suci Yehzkiel
a. Diukir pada dinding-dinding dan pintu-pintu; Yehezkiel 41:18-20,
25
5. Berhubungan dengana transportasi dari keTuhanan
a.
kemungkinan merupakan gambaran untuk angin; 2 Samuel 22:11; Mazmur 18:10;
104:3-4; Yesaya 19:1
b.
penjaga dari tahta Allah; Mazmur 80:1; 99:1; Yesaya 37:16
c.
penjaga dari kereta kencana tahta Allah; Yehezkiel 1:4-28; 10:3-22; 1 Tawarih
28:18
6. Istana Herodes
a. Di gambarkan pada dinding-dinding
7. Adegan tahta di Wahyu (yaitu penjaga Wahyu 4-5)
Jumat, 27 Juni 2014
Aku Menangis Untuk Adikku 6 Kali
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap
ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua
gadis disekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari
laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut
di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang
mencuri uang itu?", beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk
berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak
dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya
sampai beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu
bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang,
hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak
dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetespun. Di
pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku
menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,"Kak, jangan menangis
lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak
memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin.
Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku
berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat
kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas
propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,
bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita
memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan
menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai
keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup
membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu
untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka
adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak
lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh
datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan
sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku
memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata
bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun
itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh
dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di
lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu
hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan
memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat
adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku
menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah
adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa
yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak
akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.
Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam
kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa
pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk
kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat
semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki
satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke
dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun
itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah
pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu
tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah
kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang
awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang
kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep pada
lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit.
Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun
itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan
aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak
akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan,
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan
ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai
pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah
sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya,
saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan
pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang,
luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami
sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya
hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita
seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena
aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
tanganku.
Tahun
itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi
seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara
perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan
kasihi?"
Tanpa berpikir ia menjawab, "Kakakku." Ia
melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat
kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang
berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke
sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung
tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja
dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena
cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.
Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya
masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan
perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan
ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six
times"
57 CENT become CHURCH
A little girl stood near a small church from which she had been
turned away because it was 'too crowded.'
'I can't go to Sunday School,' she sobbed to the pastor as he
walked by. Seeing her shabby, unkempt
appearance, the pastor guessed the reason and, taking her by the hand, took her inside
and found a place for her in the Sunday
school class. The child was so happy that they found room for her, and she went to bed that night thinking
of the children who have no place to worship Jesus.
Some two years later, this child lay dead in one of the poor
tenement buildings. Her parents called
for the kindhearted pastor who had befriended
their daughter to handle the final arrangements.
As her poor little body
was being moved, a worn and crumpled red purse was found which seemed to have been rummaged
from some trash dump.
Inside was found 57 cents and a note, scribbled
in childish handwriting, which read:
'This is to help build the little church bigger so more children can go to Sunday School.'
For two years she had saved for this offering of love. When the pastor tearfully read that note, he
knew instantly what he would do.
Carrying this note and the cracked, red pocketbook to the pulpit, he told the story of her unselfish
love and devotion.
He challenged his deacons to get busy and raise
enough money for the larger building.
But the story does not end there...
A newspaper learned of the story and published
It. It was read by a wealthy realtor who
offered them a parcel of l and worth many thousands.
When told that the
church could not pay so much, he offered to sell it to the little church for 57 cents.
Church members made large donations. Checks came from far and wide.
Within five years the little girl's gift had increased to $250,000.00--a huge sum for that time (near
the turn of the century).
When you are in the city of Philadelphia, look up Temple
Baptist Church , with a seating capacity
of 3,300. And be sure to visit Temple
University, where thousands of students are educated.
Have a look, too, at the Good Samaritan Hospital
and at a Sunday School building which
houses hundreds of beautiful children, built so that no child in the area will ever need to be left
outside during Sunday school time.
In one of the rooms of this building may be seen
the picture of the sweet face of the
little girl whose 57 cents, so sacrificially saved, made such remarkable history. Alongside of it
is a portrait of her kind pastor, Dr. Russell H. Conwell, author of the book,
'Acres of Diamonds'.
This is a true story,
which goes to show WHAT GOD CAN DO WITH 57 CENTS.
Kamis, 26 Juni 2014
CIRI-CIRI KHAS MANUSIA MODERN
karyadim642.blogspot.com |
Manusia modern merupakan produk dari dua arus
filsafat yang bertentangan di atas, di satu segi mereka optimis terhadap
kemampuan teknologi manusia, tetapi di dalam segi lain, mereka begitu pesimis
terhadap masa depan manusia. Di satu sisi mereka merasa dirinya sudah tiba pada
puncak peradaban manusia, tetapi di sisi lain mereka merasa dirinya makin
tenggelam dalam ketanpa-artian hidup (meaninglessness).
Mereka menolak agama dan kehadiran Allah dalam hidupnya,
tetapi mereka mencari kelepasan melalui mistikisme. Karena itu tidak heran di
dalam cara berpikirnya, juga ada kontradiksi sebagai akibat dua arus di atas,
berikut ini beberapa ciri khas manusia modern.
1.
Humanisme
Istilah ini sebetulnya luas sekali, tetapi secara singkat kami
simpulkan sebagai suatu pandangan hidup yang berpusatkan pada diri manusia
sendiri. Ini merupakan agama, tetapi agama yang tanpa Allah. Di antara sekian
banyak kontributor terhadap pandangan humanisme, ada semacam keseragaman
sebagai berikut:
Ø -Manusia
tidak rusak akibat dosa sejak lahir.
Ø -Tujuan
hidup adalah hidup itu sendiri sekarang bukan di akhirat.
Ø -Dengan
akal manusia dapat meningkatkan kehidupan yang baik.
Ø -Kondisi
utama untuk mencapai kemajuan hidup ialah melepaskan diri dari ikatan tahyul
dan tekanan otoritas.
2.
Naturalisme
Naturalisme ialah pandangan hidup yang
menganggap bahwa alam semesta adalah suatu sistem tertutup yang saling
berinteraksi, tanpa campur tangan dari yang supranatural.
Bagaimana bisa mengerti gejala alam dan proses kehidupan di
dalamnya? Satu-satunya jalan ialah melalui sains, hanya sains yang bisa
memberikan gambaran tentang realita yang sesungguhnya.
Di dalam kaitan dengan teologia Kristen, hal ini
berarti apabila terjadi data-data di dalam Alkitab yang bertentangan dengan
sains (atau sepertinya sains),
misalnya: geologi, astronomi, dan khususnya biologi, maka
pasti Alkitablah yang salah. Pada hakekatnya pengikut naturalisme sudah
mempunyai presuposisi bahwa hal-hal yang supranatural itu tidak ada.
3.
Ateisme Praktis
Ateisme praktis berbeda dengan ateisme dalam hal
bahwa seorang ateis bukan hanya orang yang tidak beragama, bahkan dengan
gamblang menyerang keberadaan Allah.
Akibat pengaruh deisme, dan yang lebih populer belakangan ini
yaitu agnostisisme, maka ateisme sebetulnya tidak terlalu popular lagi. Yang
lebih banyak ialah ateisme praktis, mereka mungkin beragama, tetapi gaya
hidupnya sangat sekuler, keberadaan Allah dengan segala firman yang harus
dilaksanakan manusia secara praktis tidak ada hubungan apa-apa dengan dirinya.
Ateis praktis tidak menyangkali Allah, namun di
dalam setiap usaha mereka sebetulnya berpusat pada dirinya sendiri, mereka
tidak mengenal kehidupan doa yang merupakan pengakuan kebutuhan manusia untuk
bersandar kepada Allah.
Pandangan ini sebetulnya banyak menyusup ke dalam gereja,
khususnya di dalam negara Indonesia yang menganjurkan penduduknya untuk
beragama tersebut.
4.
Pragmatisme
Salah satu problem yang terbesar dari manusia
ialah hilangnya konsep "truth" (kebenaran). Dahulu manusia berpikir
bahwa ada suatu kebenaran mutlak yang menjadi standard kehidupan. Namun sejak
pragmatisme dipopulerkan oleh William James, orang sekarang menganggap bahwa
kebenaran ialah sesuatu yang bisa membawa hasil nyata (truth is what works).
Dengan gagasan ini satu-satunya ujian bagi kebenaran ialah
konsekuensi praktisnya, dengan demikian kebenaran menjadi relatif. Kalau
diterapkan dalam agama berarti ajaran-ajaran atau aspek-aspek dalam agama tidak
bernilai pada dirinya sendiri melainkan pada akibat moral dan psikologisnya.
Pandangan ini mempunyai aspek kebenaran di dalamnya, terkadang kita terpancang
pada kata-kata atau teori-teori kebenaran tanpa memikirkan penerapannya. Namun
perlu diperhatikan,
“Bahwa suatu kebenaran itu biasanya membawa hasil, tetapi
sesuatu yang membawa hasil belum tentu merupakan kebenaran.”
5.
Subyektivisme.
Sebagaimana sudah kami singgung di bagian sebelumnya, akibat dari
aksistensialisme dan juga yang lebih belakangan yaitu pragmatisme; di mana
kebenaran yang universal itu dianggap tidak ada, maka manusia menjadi subyektif
sekali di dalam menilai segala sesuatu.
Pandangan ini dapat dikatakan merupakan suatu usaha untuk
mengerti segala sesuatu dari segi si pelaku itu sendiri, bukan apa yang
dikatakan orang lain, atau tradisi, atau ajaran agama sekalipun. Setiap orang
adalah unik dalam keberadaannya, bahwa dirinyalah yang berpikir, mempertimbangkan
dan memutuskan untuk masa depannya sendiri.
Pandangan ini sebetulnya merupakan reaksi
terhadap tata masyarakat modern yang cenderung bersifat massal, baik di bidang
industri, teknologi, politik dan birokrasi, sehingga seolah-olah pandangan dari
nilai pribadi itu ditelan dalam sistem tersebut.
6.
Nihilisme
Akibat paling fatal dalam cara berpikir manusia modern ialah
nihilisme. Ini merupakan konsekuensi daripada pilihan manusia sendiri yang
tidak mau lagi mengakui keberadaan Allah, kebenaran yang mutlak, dan pemusatan
pada diri manusia sendiri. Sehingga akhirnya manusia merasa dirinya tidak lagi
mempunyai makna hidup (meaninglessness).
Di antara para filsuf, Nietzsche dapat dikatakan
sebagai Bapa Nihilisme, dan hidup secara konsisten dengan pandangan hidupnya
itu. Dia mengatakan kalau tidak ada Allah, tidak ada agama berarti tidak perlu
juga ada norma moral. Setiap orang menciptakan arti hidupnya sendiri, dan
menentukan sendiri apa yang baik dan tidak baik bagi dirinya.
Sayang sekali, sebagai seorang mahasiswa teologia yang brilian
di Bonn, dia harus mengakhiri hidupnya dalam kefrustrasian dan menjadi orang
yang kurang waras mentalnya.
Rabu, 25 Juni 2014
Justinus Martir
Filsuf muda itu berjalan-jalan sepanjang pantai, dengan pikirannya yang
aktif, selalu aktif mencari kebenaran baru. Ia telah mempelajari ajaran-ajaran
Stoa, Aristoteles dan Phythagoras tetapi sekarang ia menganut sistem Plato.
Plato pernah menguraikan bahwa penglihatan akan Tuhan dikaruniakan kepada
mereka yang mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh. Itulah yang dihendaki
Yustinus, sang filsuf.
Ketika berjalan-jalan, ia bertemu dengan seorang Kristen. Yustinus tersentak melihat wibawa dan kerendahan hati orang tersebut. Orang itu mengutip nubuat Yahudi yang menunjukkan bahwa cara-cara orang Kristen itulah yang benar, dan Yesus adalah pernyataan Allah yang sesungguhnya.
Peristiwa itulah yang menjadi titik balik Yustinus. Dengan merenungkan tulisan-tulisan Taurat, membaca Injil dan surat-surat Paulus, maka ia pun menjadi orang Kristen sejati. Selama sisa hidupnya, lebih kurang tiga puluh tahun lamanya, ia mengadakan perjalanan, melakukan pekabaran Injil dan menulis. Ia telah memainkan peranan penting dalam perkembangan teologi gereja, dalam memahami dirinya sendiri dan dalam citranya yang ditampilkan kepada dunia.
Sejak awal, Gereja berperan di dua dunia yang berbeda, dunia orang Yahudi dan dunia bukan Yahudi. Kisah Para Rasul menggambarkan lambannya dan terkadang sakitnya perkembangan kekristenan di kalangan orang-orang bukan Yahudi. Petrus dan Stefanus mengadakan pekabaran Injil kepada orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus kepada filsuf-filsuf Athena dan para penguasa Romawi.
Dalam banyak hal, kehidupan Yustinus mirip dengan kehidupan Paulus. Rasul ini adalah orang Yahudi yang lahir di daerah bukan Yahudi (Tarsus), sedangkan Yustinus adalah orang bukan Yahudi yang lahir di daerah Yahudi (Sikhem kuno). Keduanya terpelajar dan tangguh berargumentasi untuk meyakinkan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi akan kebenaran Kristus. Keduanya mati syahid di Roma karena keyakinan mereka.
Pada pemerintahan para kaisar abad pertama, seperti Nero dan Domitianus, tujuan gereja hanya untuk dapat bertahan hidup dengan meneruskan tradisi mereka, yaitu menampilkan cinta kasih yang menyerupai kasih Kristus sendiri. Sedangkan bagi orang luar, kekristenan merupakan sekte primitif agama Yahudi dengan berbagai ajaran dan praktiknya yang aneh.
Menjelang pertengahan abad kedua, di bawah pemerintahan yang adil oleh para kaisar seperti Trajanus, Antoninus Pius dan Marcus Aurelius, gereja mulai membuka diri pada dunia luar untuk meyakinkan keberadaannya. Yustinus menjadi salah seorang apologist (orang yang mempertahankan pendiriannya dalam argumentasi) Kristen pertama, yang menjelaskan imannya sebagai sistem yang masuk akal. Bersama-sama penulis lain, seperti Origenes dan Tertullianus, ia menafsirkan kekristenan dalam istilah-istilah yang mudah dikenal orang-orang Yunani dan Romawi terpelajar pada masa itu.
Karya tulis Yustinus, The Apology, ditujukan pada Kaisar Antoninus Pius (dalam bahasa Yunani berjudul Apologia, yaitu suatu kata yang mengacu pada logika yang menjadi dasar kepercayaan seseorang). Ketika Yustinus menjelaskan dan mempertahankan keyakinannya, ia juga menyinggung bahwa penyiksaan yang dilakukan penguasa Romawi terhadap orang-orang Kristen adalah salah. Sebaliknya, mereka seharusnya bergabung dengan orang Kristen untuk mmnunjukkan kepalsuan sistem penyembahan dewa-dewa.
Bagi Yustinus, seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Para filsuf Yunani yang tersohor sedikit banyak telah diilhami Allah, namun mata mereka belum dibukakan bagi keutuhan kebenaran Kristus. Oleh karenanya, Yustinus menyitir pemikiran Yunani dengan bebas dan kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa kesempurnaan itulah Kristus. la mengutip prinsip Yohanes tentang Kristus sebagai Logos, Firman. Allah Bapa adalah kudus adanya dan terpisah dari manusia yang jahat — tentang hal ini Yustinus setuju dengan Plato. Namun melalui Kristus, Logos-Nya, Allah dapat berhubungan dengan manusia. Sebagai Logos Allah, Kristus adalah bagian dari hakikat Allah, meskipun terpisah, seperti api dinyalakan dari api juga (demikianlah pemikiran Yustinus telah menjadi alat bagi kesadaran akan Tritunggal dan Inkarnasi yang berkembang di Gereja.).
Meskipun Yustinus bersandar pada pemikiran Yunani, namun aliran pemikiran Yahudi ada padanya. Ia kagum pada nubuat yang digenapi. Mungkin ia terpengaruh orang tua yang ia temui di pantai. Tetapi ia pun melihat bahwa nubuat Ibrani telah meyakinkan identitas Yesus Kristus yang unik. Seperti Paulus, Yustinus tidak meninggalkan orang-orang Yahudi ketika ia berpaling kepada orang-orang Yunani. Dalam karya besar Yustinus lainnya, Dialog dengan Tryfo (Dialogues with Trypho), ia menulis kepada seorang Yahudi kenalannya, bahwa Kristus adalah penggenapan tradisi Ibrani.
Di samping menulis, Yustinus mengadakan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu berargumentasi tentang iman yang diyakininya. Di Efesus, ia bertemu dengan Tryfo. Di Roma, ia bertemu Marcion, pemimpin Gnostik. Pada suatu perjalanannya ke Roma, ia pernah bersikap tidak ramah terhadap seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic. Ketika Yustinus kembali ke Roma pada tahun 165, Crescens mengadukannya kepada penguasa atas tuduhan memfitnah. Yustinus pun ditangkap, disiksa dan akhirnya dipenggal kepalanya bersama-sama enam orang percaya lainnya.
Ia pernah menulis, "Anda dapat membunuh kami, tetapi sesungguhnya tidak dapat mencelakakan kami." Keyakinan ini ia pegang sampai mati. Dengan demikian ia telah meraih nama yang disandangnya sepanjang masa: Yustinus Martir.
Ketika berjalan-jalan, ia bertemu dengan seorang Kristen. Yustinus tersentak melihat wibawa dan kerendahan hati orang tersebut. Orang itu mengutip nubuat Yahudi yang menunjukkan bahwa cara-cara orang Kristen itulah yang benar, dan Yesus adalah pernyataan Allah yang sesungguhnya.
Peristiwa itulah yang menjadi titik balik Yustinus. Dengan merenungkan tulisan-tulisan Taurat, membaca Injil dan surat-surat Paulus, maka ia pun menjadi orang Kristen sejati. Selama sisa hidupnya, lebih kurang tiga puluh tahun lamanya, ia mengadakan perjalanan, melakukan pekabaran Injil dan menulis. Ia telah memainkan peranan penting dalam perkembangan teologi gereja, dalam memahami dirinya sendiri dan dalam citranya yang ditampilkan kepada dunia.
Sejak awal, Gereja berperan di dua dunia yang berbeda, dunia orang Yahudi dan dunia bukan Yahudi. Kisah Para Rasul menggambarkan lambannya dan terkadang sakitnya perkembangan kekristenan di kalangan orang-orang bukan Yahudi. Petrus dan Stefanus mengadakan pekabaran Injil kepada orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus kepada filsuf-filsuf Athena dan para penguasa Romawi.
Dalam banyak hal, kehidupan Yustinus mirip dengan kehidupan Paulus. Rasul ini adalah orang Yahudi yang lahir di daerah bukan Yahudi (Tarsus), sedangkan Yustinus adalah orang bukan Yahudi yang lahir di daerah Yahudi (Sikhem kuno). Keduanya terpelajar dan tangguh berargumentasi untuk meyakinkan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi akan kebenaran Kristus. Keduanya mati syahid di Roma karena keyakinan mereka.
Pada pemerintahan para kaisar abad pertama, seperti Nero dan Domitianus, tujuan gereja hanya untuk dapat bertahan hidup dengan meneruskan tradisi mereka, yaitu menampilkan cinta kasih yang menyerupai kasih Kristus sendiri. Sedangkan bagi orang luar, kekristenan merupakan sekte primitif agama Yahudi dengan berbagai ajaran dan praktiknya yang aneh.
Menjelang pertengahan abad kedua, di bawah pemerintahan yang adil oleh para kaisar seperti Trajanus, Antoninus Pius dan Marcus Aurelius, gereja mulai membuka diri pada dunia luar untuk meyakinkan keberadaannya. Yustinus menjadi salah seorang apologist (orang yang mempertahankan pendiriannya dalam argumentasi) Kristen pertama, yang menjelaskan imannya sebagai sistem yang masuk akal. Bersama-sama penulis lain, seperti Origenes dan Tertullianus, ia menafsirkan kekristenan dalam istilah-istilah yang mudah dikenal orang-orang Yunani dan Romawi terpelajar pada masa itu.
Karya tulis Yustinus, The Apology, ditujukan pada Kaisar Antoninus Pius (dalam bahasa Yunani berjudul Apologia, yaitu suatu kata yang mengacu pada logika yang menjadi dasar kepercayaan seseorang). Ketika Yustinus menjelaskan dan mempertahankan keyakinannya, ia juga menyinggung bahwa penyiksaan yang dilakukan penguasa Romawi terhadap orang-orang Kristen adalah salah. Sebaliknya, mereka seharusnya bergabung dengan orang Kristen untuk mmnunjukkan kepalsuan sistem penyembahan dewa-dewa.
Bagi Yustinus, seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Para filsuf Yunani yang tersohor sedikit banyak telah diilhami Allah, namun mata mereka belum dibukakan bagi keutuhan kebenaran Kristus. Oleh karenanya, Yustinus menyitir pemikiran Yunani dengan bebas dan kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa kesempurnaan itulah Kristus. la mengutip prinsip Yohanes tentang Kristus sebagai Logos, Firman. Allah Bapa adalah kudus adanya dan terpisah dari manusia yang jahat — tentang hal ini Yustinus setuju dengan Plato. Namun melalui Kristus, Logos-Nya, Allah dapat berhubungan dengan manusia. Sebagai Logos Allah, Kristus adalah bagian dari hakikat Allah, meskipun terpisah, seperti api dinyalakan dari api juga (demikianlah pemikiran Yustinus telah menjadi alat bagi kesadaran akan Tritunggal dan Inkarnasi yang berkembang di Gereja.).
Meskipun Yustinus bersandar pada pemikiran Yunani, namun aliran pemikiran Yahudi ada padanya. Ia kagum pada nubuat yang digenapi. Mungkin ia terpengaruh orang tua yang ia temui di pantai. Tetapi ia pun melihat bahwa nubuat Ibrani telah meyakinkan identitas Yesus Kristus yang unik. Seperti Paulus, Yustinus tidak meninggalkan orang-orang Yahudi ketika ia berpaling kepada orang-orang Yunani. Dalam karya besar Yustinus lainnya, Dialog dengan Tryfo (Dialogues with Trypho), ia menulis kepada seorang Yahudi kenalannya, bahwa Kristus adalah penggenapan tradisi Ibrani.
Di samping menulis, Yustinus mengadakan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu berargumentasi tentang iman yang diyakininya. Di Efesus, ia bertemu dengan Tryfo. Di Roma, ia bertemu Marcion, pemimpin Gnostik. Pada suatu perjalanannya ke Roma, ia pernah bersikap tidak ramah terhadap seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic. Ketika Yustinus kembali ke Roma pada tahun 165, Crescens mengadukannya kepada penguasa atas tuduhan memfitnah. Yustinus pun ditangkap, disiksa dan akhirnya dipenggal kepalanya bersama-sama enam orang percaya lainnya.
Ia pernah menulis, "Anda dapat membunuh kami, tetapi sesungguhnya tidak dapat mencelakakan kami." Keyakinan ini ia pegang sampai mati. Dengan demikian ia telah meraih nama yang disandangnya sepanjang masa: Yustinus Martir.
Langganan:
Postingan (Atom)