Rabu, 20 Agustus 2014

NOBEL EKONOMI 2013

karyadim642.blogspot.com

Prof. Roy Sembel
Guru besar Ekonomi Keuangan dan Praktisi Bisnis di Jakarta

Saat tulisan ini dibuat, hadiah Nobel 2013 dari berbagai bidang sudah diumumkan. Tahun ini, pemenang Hadiah Nobel Ekonomi ada tiga orang: Prof. Eugene Fama, Prof. Lars Hansen, dan Prof. Robert Shiller, untuk karya mereka di bidang “… Empirical analysis of asset prices …” (analisis empiris terhadap harga aset). Saat membaca pengumuman pemenang Nobel tersebut, saya tersenyum dan merasa bangga karena Prof. Eugene Fama adalah ‘kakek guru’ saya. Pasalnya, pembimbing disertasi doktor saya di University of Pittsburgh, Prof. Gershon Mandelker, adalah murid langsung dari Prof. Eugene Fama. Congrats Prof. Fama!

Penghargaan Nobel untuk Prof. Fama seharusnya sudah terjadi minimal  sebelum peralihan milenium. Pasalnya, konsep yang berseberangan dengan konsep Fama, yaitu Behavioral Economics (dan aplikasinya di Behavioral Finance) oleh Prof. Daniel Kahneman dan kawan-kawan, sudah memperoleh penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2002. Padalah konsep Efficient Market / Pasar Efisien (PE) oleh Prof. Fama dan kawan-kawan, sudah dimulai sekitar 1-2 dekade sebelum Behavioral Finance. PE telah menjadi bagian dari arus utama ilmu keuangan / investasi pada dekade 80-an dan 90-an. Hasil riset PE telah membuahkan produk baru bernilai ratusan milyar Dollar AS yang menguntungkan ratusan juta investor di industri jasa keuangan.

Selama 17 tahun terakhir, setiap kali mengajar kelas Investasi, saya tak pernah lupa menyisipkan konsep PE. Dari hasil diskusi dengan mahasiswa dan rekan-rekan akademisi maupun praktisi, banyak orang salah memahami PE karena memang jika hanya dilihat sepintas di permukaan, seolah-olah PE tidak masuk akal. Jadi upaya memahami PE tidak bisa sekadar sambil lalu.

Pasar, dalam hal ini pasar finansial, dikatakan efisien jika harga yang terbentuk di pasar tersebut sudah mencerminkan informasi relevan yang tersedia pada saat itu. Ibarat air yang mengalir dari atas ke bawah akhirnya mencapai laut, informasi pada akhirnya akan tercermin dalam harga yang terbentuk. Mekanismenya adalah melalui aksi jual/beli yang diambil oleh para investor berdasarkan informasi yang tersedia tersebut. Adu kuat antara informasi positif dan negatif menghasilkan konsensus berupa harga yang terbentuk di pasar finansial.

Jika pasar sudah efisien (harga sudah mencerminkan informasi yang tersedia), maka pergerakan harga selanjutnya tidak lagi tergantung informasi yang sudah ada, melainkan tergantung informasi baru yang belum ada sebelumnya. Dengan demikian, pergerakan harga di masa depan tidak bisa diramalkan karena per definisi, informasi baru tidak bisa diramalkan (kalau sudah bisa diramalkan berarti informasi tersebut tidak baru). Sebagai contoh, jika berdasarkan informasi yang ada sekarang harga seharusnya berada di level Rp 1000 dan sekarang harga sudah Rp 1000 (sudah efisien), maka menggunakan informasi bahwa harga seharusnya Rp 1000 kita tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Perubahan harga ke depan tergantung informasi baru yang datang positif atau negatif. Jika informasi baru positif (negatif) harga akan bergerak naik (turun).

Karena informasi baru tidak bisa diprediksi waktu tibanya dan isinya positif atau negatif, maka pergerakan harga ke depan juga tidak bisa diprediksi dan bersifat acak atau random. Pergerakan harga ini disebut sebagai Random Walk (langkah acak). Untuk diingat bahwa output harga yang dihasilkan oleh pasar merupakan hasil konsensus dari ribuan bahkan jutaan orang. Wisdom dari jutaan orang yang terakumulasi di pasar jauh melebihi wisdom 1 orang tercerdas maupun 1 institusi terhebat sekalipun.

Berdasarkan konsep ini, seorang investor tak akan bisa mengalahkan pasar secara konsisten. Artinya, kinerja investasi seorang investor yang berusaha mengalahkan pasar, padahal informasi yang dimilikinya sudah tercermin dalam harga yang terbentuk di pasar, tak akan bisa mengalahkan kinerja pasar secara konsisten. Kalau cuma berhasil sekali-sekali mungkin saja bisa. Itu namanya kebetulan. Dari jutaan orang, bisa saja ada satu atau dua orang seperti Warren Buffett yang bisa mengalahkan pasar secara konsisten. Itu juga kebetulan. Kalau ada 1 juta orang yang melempar koin masing-masing 50 kali, bisa saja secara kebetulan 1 atau 2 orang mendapat 50 kali berturut-turut sisi muka dari koin tersebut.

Konsep PE mendapat banyak dukungan bukti riset empiris. Bukti yang paling menonjol diperoleh dari kinerja dari reksadana saham yang dikelola oleh para manajer investasi profesional. Logisnya, para profesional seharusnya lebih pakar dibanding pasar. Kenyataannya, secara rata-rata, kinerja pasar lebih baik dibanding kinerja rata-rata reksadana saham. Sekitar 2/3 dari reksadana saham memiliki kinerja di bawah kinerja pasar (diwakili oleh indeks komposit pasar). Sementara itu 1/3 reksadana yang kinerjanya di atas pasar berganti-ganti dari tahun ke tahun, alias sangat jarang yang secara konsisten terus mengalahkan pasar. Artinya, mungkin sekali itu terjadi secara kebetulan. Bahkan investor sekaliber Warren Buffet pun tidak selalu bisa mengalahkan pasar, dan telah beberapa kali mengalami kerugian.

Berdasarkan hasil riset ini, muncullah jenis reksadana baru, yaitu reksadana indeks. Reksadana ini terdiri dari banyak saham sesuai dengan isi dari indeks komposit pasar. Kinerjanya akan mirip dengan kinerja indeks komposit pasar sehingga cenderung mengalahkan 2/3 dari reksadana saham yang menggunakan berbagai cara lain dalam upaya mengalahkan pasar (dan ternyata tidak berhasil). Reksadana indeks saat ini cukup populer di AS, dengan nilai portofolio total mencapai ratusan milyar dollar AS.

Konsep tandingan
Konsep PE bukanlah konsep yang sempurna. Ada beberapa fenomena di pasar yang dipandang sebagai anomali jika dianalisis dengan konsep PE karena tidak sesuai dengan implikasi konsep PE. Sejak dekade 90-an mulai populer konsep tandingan yang mengklaim bisa menjelaskan fenomena yang menjadi anomali bagi konsep PE.

Konsep tandingan ini, yaitu Behavioral Economics dan Behavioral Finance- dipopulerkan oleh Prof. Daniel Kahnemann, Prof. Richard Thaler, dan kawan-kawan berdasarkan riset di bidang psikologi sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Anomali bahwa di pasar bisa terjadi bubble (gelembung) dan bubble ini bisa diramalkan akan meletus telah mengorbitkan Prof. Robert Shiller menjadi pemenang Nobel Ekonomi 2013 bersama dengan Prof. Fama. Jadi Hadiah Nobel Ekonomi 2013 diberikan kepada dua kutub riset yang saling berseberangan konsep dasarnya.

Ketika diminta komentarnya tentang keberhasilan Prof. Shiller meramalkan meletusnya bubble yang menyebabkan krisis 2008 dan peralihan millenium. Fama berkomentar bahwa Prof. Shiller sudah meramalkan hal tersebut setiap tahun sejak pertengahan dekade 90-an, dan hanya terbukti 2 kali. Jadi keberhasilan dengan peluang sebesar 10%-15% belum bisa dikatakan bebas dari kebetulan.


Kontroversi selevel clash of the titans di antara para pemenang Nobel Ekonomi ini menunjukkan bahwa dunia ekonomi keuangan masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menemukan konsep yang setara dengan “The Grand Theory of Everything” di bidang sains. Sambil menunggu ditemukannya konsep baru tersebut (yang rasanya masih lama baru terjadi), para investor seyogyanya tetap berusaha berinvestasi secara bijak dan rasional untuk memanfaatkan banyak peluang yang tersedia sambil mewaspadai risiko yang mungkin timbul. Hal ini sejalan dengan kata-kata bijak “… The test of a first-rate intelligence is the ability to hold two opposed ideas in mind at the same time and still retain the ability to function …” ( F. Scott Fitzgerald). 

Selamat berinvestasi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar