Ciri-ciri
kepulauan Hawaii ada banyak yang mirip dengan ciri-ciri kepulauan Indonesia.
Pepohonan dan buah-buahan yang tumbuh di sana agak sama dengan pepohonan dan
buah-buahan yang tumbuh di sini.
Orang
Hawaii, sama seperti orang Indonesia, adalah keturunan bangsa pelaut. Berabad-abad
yang lalu, nenek moyang mereka berdatangan dari jauh ke pulau-pulau yang indah
itu, dengan berlayar dalam perahu-perahu besar. Bahasa mereka pun masih termasuk
serumpun bahasa Melayu. Jalan di sana disebut: alan. Langit disana disebut:
lani. Dan dalam bahasa Hawaii kuno malo adalah untuk cawat yang dipakai oleh
kaum pria agar mereka tidak merasa malu.
Namun
selama berabad-abad bahasa Hawaii itu belum pernah ditulis. Bahasa itu hanya
dipakai secara lisan saja, . . . sampai ada sebuah kapal layar yang berlabuh di
kepulauan Hawaii pada tanggal 14 April 1820.
Pdt.
dan Ibu Hiram Bingham, dengan dua belas utusan Injil yang lain, berlayar ke sana
dengan kapal itu selama hampir setengah tahun. Begitu lama mereka menghabiskan
waktu untuk mengarungi laut dari Amerika Serikat ke kepulauan Hawaii. Konon,
pada masa itu belum ada kapal terbang atau pun kapal bermotor, belum ada radio
dan radar ataupun alat-alat modern lainnya yang menunjang kelancaran perjalanan
antar pulau dan benua pada masa kini.
Pdt.
Bingham dan rekan-rekan sepanggilannya itu berlabuh, lalu turun ke darat. Mereka
menghadap Raja Liholiho dan minta izin menetap di kepulauan Hawaii. Permohonan
mereka itu diterjemahkan oleh seorang pedagang yang berperan sebagai pengalih
bahasa.
Raja
Liholiho agak bingung. Rupa-rupanya ia sudah mendengar sedikit tentang ajaran-ajaran
agama Kristen. "Jika aku menerima kalian," katanya, "dan jika ajaran-ajaran
kalian mulai berlaku di sini, itu berarti aku harus menceraikan empat dari
kelima istriku yang tercinta, dan selanjutnya aku hanya boleh beristri seorang
saja."
Untuk
membujuk sang raja, rombongan utusan Injil itu menghadiahkan kepadanya sebuah
Alkitab bahasa Inggris yang bagus. Baginda sangat menyukai Buku besar itu.
Namun ia tidak dapat membacanya. Pada hakikatnya ia tidak dapat membaca sepatah
kata pun dalam bahasa apa saja, karena bahasanya sendiri, bahasa Hawaii, belum
pernah ditulis.
"Memang
di seluruh kepulauan ini," demikianlah Pdt. Bingham menulis dalam sepucuk
surat kepada temannya di Amerika, "tidak ada buku, pena, attau pun potlot,
untuk dipakai baik untuk kesenangan maupun untuk urusan, baik untuk mendapat
ilmu maupun untuk menyampaikan pikiran."
Raja
Liholiho bersikeras bahwa para utusan Injil itu harus segera mengajarkan bahasa
Inggris kepadanya. Pdt. Bingham dengan senang hati melayaninya, dan tidak lama
kemudian sang raja dapat berseru dengan sangat nyaring: "How do you do! Aloha!"
(Aloha adalah kata salaman yang paling lazim di kepulauan Hawaii.)
Sang
raja dengan seluruh pengiringnya diajak menikmati suatu perjamuan di atas kapal,
yang masih tetap menjadi tempat tinggal sementara untuk para utusan Injil.
Keesokan harinya, Raja Lihaliho hendak membalas budi dengan mengundang rombongan
orang asing itu ke pesta makannya sendiri.
Namun
mereka menolak undangan itu, karena harinya jatuh tepat pada hari Minggu. Sang
raja sangat murka. Tetapi kemudian ia diberi pengertian bahwa hal berpesta pada
hari Minggu itu dianggap kapu (tabu) oleh umat Kristen. Maka undangan itu diundurkan
sehari. pada hari Senin seluruh rombongan utusan Injil turrun ke darat dan
makan bersama-sama dengan sang raja dan kelima istrinya.
Akhirnya
Raja Liloho mengambil keputusan bahwa para utusan Injil itu boleh menetap di
mana saja di kepulauan Hawaii, serta boleh tinggal "selama satu tahun."
Mula-mula Pdt. Bingham dan kawan-kawannya agak bingung tentang batas waktu yang
sedemikian pendeknya. Namun "satu tahun" itu kemudian diperpanjang sampai
berpuluh-puluh tahun.
Pdt.
dan Ibu Bingham menetap di pulau Oahu, sedangkan kebanyakan rekan sepanggilan
mereka menetap di pulau Kauai. Dalam sepucuk surat yang dikirimnya ke Amerika,
Pdt. Bingham menggambarkan kesibukan mereka semua: "Kami bekerja keras
untuk belajar bahasa Hawaii. Kami pun berusaha menyusun sitem tulisan untuk
bahasa itu serta menyediakan buku-buku pelajaran, agar semua penduduk di sini
dapat belajar membaca secepat mungkin."
Memang
hanya satu bulan setelah keluarga Bingham mendarat di pulau Oahu, mereka berhasil
membuka sebuah sekolah untuk anak-anak Hawaii. Karena belum ada jam atau
lonceng di kepulauan itu, anak-anak disuruh berkumpul tiap hari pada saat matahari
mencapai ketinggian tertentu.
Tidak
lama kemudian, Raja Liholiho menjadi kurang senang atas berhasilnya sekolah itu
dan mengancam akan menutupnya. "Nanti anak-anak itu akan lebih cepat mnjadi
pandai daripada aku sendiri!" demikianlah omelannya. Tetapi utusan-utusan Injil
dapat meredakan kegeramannya dengan menjelaskan bahwa baginda sedang belajar
bahasa Inggris, yang jauh lebih sulit daripada bahasa Hawaii yang dipakai oleh
anak-anak sekolah.
Sementara
itu, ada seorang raja bawahan di pulau Kauai yang dengan senang hati menerima
ajaran bahasa Inggris maupun ajaran Alkitab. Tujuannya belajar bahasa asing itu
ialah, justru supaya ia dapat membaca Firman Tuhan. Maka ia menulis sepucuk
surat kepada badan zending di Amerika Serikat yang telah mengirim rombongan
utusan Injil kepadanya. Inilah saduran suratnya itu:
Kawan-kawan
yang baik hati, Biarlah kami menulis beberapa baris saja untuk
mengucapkan
terima kasih atas Buku yang baik itu, yang diberikan oleh Tuhan Allah supaya
kami membacanya.
Mudah-mudahan
seluruh rakyat kami dengan segera akan membaca Buku ini.
Kami
percaya bahwa semua patung berhala kami itu kurang berguna, dan bahwa Tuhan
Allah itulah satu-satunya Allah yang benar, yang telah menciptakan segala
sesuatu.
Patung-patung
berhala itu telah kami buang; tiada gunanya, kami merasa tertipu olehnya. Kami
telah memberi mereka kelapa, nanas, daging babi, dan banyak hal yang baik, namun
mereka menipu kami. Sekarang kami sudah membuang semuanya.
Setelah
kami belajar dari orang-orang yang baik yang telah kalian kirim ke mari, maka
kami akan mulai menyembah Tuhan Allah yang disembah oleh kalian. Kami senang
oleh karena kalian telah mengutus orang-orang baik itu ke mari, agar mereka
dapat menolong kami.
Kami
mengucapkan terima kasih karena mereka telah mengajar putra kami. Kami mengucapkan
terima kasih kepada semua orang yang berada di Amerika.
Terimalah
ini dari sahabat kalian
Raja
Kaumualii
Sementara
itu, Pdt. Hiram Bingham dan seorang kawan sekerjanya sedang membanting tulang
menyusun abjad untuk bahasa Hawaii. Mereka menemukan bahwa dua belas huruf saja
sudah cukup untuk menulis semua bunyi yang biasa dilafalkan dalam bahasa itu:
kelima huruf hidup, a, e, i, o, dan u, ditambah dengan tujuh huruf mati saja,
yaitu h, k, l, m, n, p, dan w.
Namun
mereka merasa sangat bingung pada waktu mereka mulai berusaha menerjemahkan
Alkitab. Bagaimanakah nama Raja Daud itu dapat ditulis tanpa huruf D?
Bagaimanakah nama Rut dapat ditulis tanpa huruf R maupun huruf t? Sama parahnya
juga nama suami Rut, Boas, kalau harus ditulis tanpa huruf B maupun huruf s!
Maka
mereka memutuskan untuk menambah sembilan huruf lagi pada abjad bahasa Hawaii,
khusus agar dapat menulis nama-nama di dalam Alkitab. Namun kesembilan huruf
itu tidak segera diajarkan kepada seseorang yang buta huruf. Biarlah dia belajar
dulu kedua belas huruf yang cukup untuk melafalkan semua kata asli dalam bahasa
ibunya. Kemudian ia baru akan diajarkan huruf-huruf tambahan.
Pada
tanggal 7 Januari 1822, sebuah mesin cetak tiba di kepulauan Hawaii, sesuai dengan
permintaan Pdt. Hiram Bingham. Raja Liholoho datang untuk melihat "alat ajaib"
itu. Ketika satu halaman telah dizet dengan kata-kata dalam bahasa Hawaii, Pdt.
Bingham membiarkan sang raja sendiri menekan pengukit mesin cetaknya. Baginda
tersenyum lebar ketika ia melihat kertas putih itu yang diisi penuh dengan
kata-kata yang dapat dibacanya sendiri.
Penggunaan
seni cetak itu mengobarkan hidup baru dalam gereja-gereja dan sekolah-sekolah
Kristen di kepulauan Hawaii. Beberapa minggu kemudian, sudah terdaftar lima
ratus pelajar baru. Pada saat Raja Liholiho pergi melawat ke seluruh wilayah
kerajaannya, hadiah-hadiah yang dibawa sertanya bukan lagi jubah-jubah
kebesaran yang terbuat dari bulu burang yang berwarna-warni, melainkan
buku-buku pelajaran mengeja.
Pdt.
Bingham telah menerjemahkan beberapa lagu rohani ke dalam bahasa Hawaii. Orang-orang
Hawaii sangat menyukainya, serta menyanyikannya dengan penuh semangat dalam
gedung-gedung gereja mereka yang terbuat dari rumput kering.
Pada
tanggal 4 Agustus 1828, Pdt. Bingham mencatat bahwa ia sudah tidak usah lagi
menggunakan seorang pengalih bahasa pada saat berkhotbah. Hari Minggu yang berikutnya,
Raja Lihaliho dan ibunya datang mendengar Pdt. Bingham berkhotbah. Mereka naik
sebuah gerobak yang ditarik oleh manusia, karena belum ada kuda maupun lembu di
seluruh kepulauan Hawaii. Setelah kebaktian biasa, Pdt. Bingham juga menikahkan
pengabar Injil bangsa Hawaii yang pertama. Pengantinnya yang cantik itu adalah
seorang lulusan sekolah putri. Sang permaisuri begitu terharu menyaksikan
pernikahan Kristen itu sampai-sampai ia menangis dengan suara nyaring selama ia
berada di gereja.
Beberapa
hari kemudian, Raja Liholiho menulis sepucuk surat kepada Raja Mahina di
kepulauan Tahiti. Sengaja ia memakai bahasa Inggris, agar saingannya itu dapat
mengetahui kepandaiannya yang baru. Demikianlah bunyinya surat sang raja itu:
O Mahina,
Kami sedang menulis pesan ini kepadamu.
Kami merasa terharu oleh karena putramu sudah meninggal. Kami mengirim salam
kasih kepadamu dan kepada seluruh kaum bangsawan di kepulauanmu.
Kami sedang mempelajari Palapala
[Alkitab]. Kalau kami sudah pandai, kami akan datang ke tempatmu untuk mengunjungimu.
Semoga engkau akan diselamatkan oleh Yesus Kristus.
Liholiho
Ibunya Raja Liholiho baru minta
dibaptiskan pada saat menjelang kematiannya.
Sang permaisuri itu pun menyuruh
putranya menghadap dia, lalu memesan kepadanya
sebagai berikut: "Peliharalah
baik-baik kepulauanmu itu dan bangsa ini.
Lindungilah para utusan Injil.
Ikutlah jalan yang lurus. Ingatlah dan
kuduskanlah Hari Sabat. Layanilah
Tuhan Allah. Indahkanlah Firman Allah, agar
engkau berhasil baik dan akan
bertemu kembali dengan ibumu di surga kelak."
Kepada kaum bangsawan, permaisuri
yang sedang menghadapi ajalnya itu berpesan:
"Lindungilah guru-guru yang
telah datang ke tempat orang-orang yang berhati
gelap ini; indahkanlah ajaran-ajaran
mereka. Sekali-kali jangan mengingkari
perintah-perintah Tuhan. Dialah
Allah yang baik. Dewa-dewa kita yang lama itu
sia-sia belaka."
Pada bulan Nopember tahun 1828, sang
raja dan para bangsawan menerbitkan undang-undang
yang pertama untuk seluruh kepulauan
Hawaii. Polanya? Sepuluh Hukum Tuhan. Pada
minggu yang sama itu, halaman
pertama dari Kitab Injil Lukas dalam bahasa Hawaii
berhasil dicetak di kota Honolulu.
Naskah-naskah terjemahan Kitab- Kitab Injil
Matius, Markus, dan Yohanes sudah
lebih dahulu dikirim ke Amerika untuk dicetak
di sana.
Dalam
tahun-tahun yang berikutnya, ada bagian-bagian dari Kitab Perjanjian Lama
yang
diterbitkan, dan terjemahan Kitab Perjanjian Baru itu pun mengalami
beberapa
perbaikan. Baru pada tahun 1839, setelah ia berkhotbah, belajar, dan
mengajar
di kepulauan Hawaii selama sembilan belas tahun, Pdt. Hiram Bingham
dapat
melaporkan: "Seluruh Alkitab sudah selesai!" Selesainya terjemahan
lengkap
dari
Firman Allah itu benar-benar membawa pengaruh: Ribuan orang lagi
berbondong-bondong
memasuki gereja.
Sudah
timbul suatu generasi baru di antara bangsa Hawaii, yang dibesarkan
menurut
ajaran-ajaran Alkitab. Mereka itu insaf bahwa masih banyak perubahan dan
perbaikan
yang perlu diadakan di tanah air mereka. Maka pada tahun 1839 sistem
hukum
mereka disempurnakan, dan pada tahun 1840 mereka menetapkan undang-undang
dasar.
Ada
raja baru yang masih muda, yaitu cucu Raja Liholiho. Ia menempuh suatu masa
perjuangan
yang panjang, bergumul dengan negara-negara asing agar daulat dan
kemerdekaan
kepulauan Hawii itu tetap dihormati. Dalam rangka usaha itu, pada
tahun
1841 Pdt. Hiram Bingham pergi ke Washington, ibu kota Amerika Serikat.
Kepada
Konggres (DPR) di sana ia mempersembahkan sebuah salinan Alkitab lengkap
dalam
bahasa Hawaii. Dengan maksud tujuan yang sama, raja Hawaii yang masih muda
itu
pergi ke negeri Inggris dan bertemu dengan Ratu Victoria yang tersohor.
Pada tahun 1845, DPR Hawaii berkumpul di kota Honolulu
untuk mendengar suatu
pidato penting yang disampaikan oleh raja mereka. Inilah
sebagian dari pidato
baginda pada kesempatan itu:
Kemerdekaan negara kita telah diakui oleh Amerika
Serikat, Inggris Raya, Perancis, dan Belgia. Kami ingin
tetap
memelihara hubungan perdamaian dan persahabatan dengan
segala
bangsa.
Kami pun insaf betul bahwa Firman Tuhan merupakan
batu penjuru negara kita. Melalui pengaruhnya, bangsa
kita
telah diperkenalkan ke dalam keluarga besar negara-negara
yang merdeka di seluruh dunia. Oleh karena itu, kami akan
berusaha terus-menerus untuk menjalankan pemerintahan
kami
dengan sikap takut akan Allah; untuk mengimbangi
kebenaran
dengan belas kasihan dalam menghukum kejahatan; dan untuk
memberi imbalan yang sepatutnya kepada rakyat yang rajin
berbuat baik.
Demikianlah pengaruh Alkitab terhadap suatu bangsa yang
hanya satu generasi
sebelumnya belum mempunyai bahasa yang ditulis!
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar