KEEMPAT
KITAB YANG PALING INDAH
(Inggris, 690-750 M.)
Di
lautan dekat pantai negeri Inggris, terdapat sebuah pulau kecil yang sangat indah, seindah impian. Kalau pada hari-hari tertentu badai hujan sedang mengamuk, gelombang-gelombang
besar menghantam pulau itu dan angin kencang menamparnya. Tetapi pada hari-hari
lainnya matahari bersinar lembut, dan pulau kecil itu nampaknya bagaikan batu
permata di tengah laut. Ombak-ombak kecil berdatangan membelai-belai pantainya,
lalu surut kembali dan menghilang di dalam samudra.
Nama
pulau kecil itu bagaikan lagu pada bibir orang yang mengucapkannya. Kalau seseorang
mengucapkan kata indah "Lindesfarne", seakan-akan ada rasa puas yang meliputi
hatinya.
Pulau
itu pun diberi nama julukan: "Pulau Suci." Nama yang manakah yang
lebih
tepat?
Biarlah setiap pembaca menilainya sendiri.
Lebih
dari seribu tahun yang lampau, kira-kira pada tahun 690 M., di pulau Lindesfarne
ada seorang biarawan Kristen bernama Eadfrith. Dialah bapak kepala dari
semua biarawan yang terkumpul di tempat yang terpencil itu. Mereka sengaja berkumpul
di sana agar dapat melayani Tuhan Yesus dan sesama manusia tanpa gangguan
dari dunia luar.
Raut
muka Eadfrith mencerminkan ketenangan dan keberanian. Dan memang ia memerlukan
sifat-sifat itu, karena masa hidupnya adalah masa yang sangat berbahaya. Siapa
yang tahu, kapan para penyerbu suku Viking yang garang itu akan datang
dari benua Eropa dan menyerang pulau Lindesfarne? Mereka itu suka naik perahu-perahu
panjang yang haluannya berukiran naga. Dengan tak terduga mereka tiba-tiba
akan mendarat di suatu tempat yang sebelumnya aman. Kemudian tempat itu
dilanda teriakan perang dan perbuatan teror, sampai semua penduduknya tewas dan
semua bangunannya terbakar.
Namun
raut muka Eadfrith tetap mencerminkan ketenangan dan keberanian. Bahkan ia berani
mengimpikan suatu masa depan yang indah. Pada waktu yang dibayangkannya itu,
seluruh umat manusia akan meletakkan pedang dan tombak mereka, dan akan mengikuti
seorang Pemimpin yang mengibarkan bendera kasih.
Eadfrith
bukan hanya mengepalai sekelompok kecil kaum pria yang tinggal di dalam biara
di pulau Lindesfarne itu: Ia pun suka bekerja bersama-sama dengan mereka.
Ia
telah menyediakan sehelai kulit domba yang sangat halus, sehingga layak menjadi
tempat penulisan Firman Tuhan. Dan di atas kulit yang halus itu, dengan panjang
sabar Eadfrith mulai menyalin keempat Kitab Injil yang menceritakan masalah
pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini. Karena (demikianlah pikir Eadfrith) bagaimana
pedang dan tombak akan berhenti mengamuk, kecuali jika Kabar Baik tentang
Tuhan Yesus itu diberitakan dimana-mana? Hanyalah Tuhan Yesus yang sanggup
menyelamatkan dunia dari dosa dan sengsara.
Hari
demi hari, minggu demi minggu Eadfrith bekerja keras. Dengan seluruh keahliannya
ia menulis setiap huruf dalam naskah salinannya itu. Ada huruf-huruf yang
polos saja; ada juga huruf-huruf (khususnya yang letaknya di permulaan pasal
atau di kepala halaman) yang dibuat semarak dengan warna-warni yang indah.
Di dalam
kotak dan lingkaran yang menghiasi huruf-huruf besar itu dapat terlihat gambar
para malaikat dan para hamba-hamba Tuhan dari masa lampau.
Hari
demi hari, minggu demi minggu Eadfrith terus bekerja. Setiap kata disalinnya
dengan huruf-huruf yang indah dan jelas. Kata demi kata, baris demi baris,
seluruh isi keempat Kitab Injil itu diturunkannya dari naskah-naskah dalam
bahasa Latin, yang merupakan satu-satunya Alkitab milik para biarawan di pulau
Lindesfarne.
Musim
demi musim berlalu. Pada musim semi, rerumputan bertaburan bunga di pantai pulau
Lindesfarne yang sering terhantam badai itu. Warna-warna bunga itu menyamai
warna-warna tinta yang berkembang dari kuas Eadfrith sehingga menjadi huruf-huruf
besar yang terhias pada Kitab Injil Matius dan Kitab Injil Markus.
Musim
panas dan musim rontok pun lewat, dan tibalah musim salju. Masih tetap jari-jari
Eadfrith yang kedinginan itu menelusuri baris-baris tulisan dari Kitab Injil
Lukas dan Kitab Injil Yohanes. Kadang-kadang juru tulis yang panjang sabar itu
harus berhenti dulu untuk memanaskan tangannya: Ia khawatir jari-jarinya yang
kaku akan mencemarkan keindahan hasil karyanya.
Akhirnya
seluruh pekerjaan penyalinan itu selesai. Helai-helai kulit domba yang telah
bertuliskan keempat Kitab Injil itu disusun oleh tangan orang lain, bukan oleh
tangan Eadfrith, sebab Bapak Eadfrith sudah meninggal. Waktu itu tahun 724 M.,
dan yang menjadi bapak kepala biara di pulau Lindesfarne adalah Ethelwald.
Dialah
yang menyuruh supaya dibuat suatu sampul keras, agar halaman-halaman dalam
dari kitab yang terindah itu dapat terlindung dengan baik.
Billfrith,
seorang rahib suci yang suka hidup sendirian, disuruh mengambil kitab itu.
Ia seorang pandai perak dan emas yang sangat ahli. Dengan logam-logam berharga
dan batu-batu permata ia menghiasi sampul dari salinan keempat Kitab Injil
itu.
Pekerjaan
Billfrith pun sudah selesai. Untuk terakhir kalinya tangan Billfrith yang cekatan itu menjamah Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah. Maka Kitab
Suci itu dibawa dengan penuh khidmat ke ruang ibadat, yaitu ke tempat yang paling
terhormat di seluruh pulau Lindesfarne. Di sana para biarawan berkumpul untuk
mengucap syukur kepada Tuhan, oleh karena tidak ada halangan apapun dalam proses
persiapan Kitab Suci yang telah mulai disalin oleh Eadfrith berpuluh-puluh tahun
yang lampau.
Siapa
yang tahu, berapa kali halaman-halaman yang indah itu dibolak-balikkan dengan
hati-hati oleh tangan para biarawan? Siapa yang tahu, berapa kali kata-kata panjang
dalam bahasa Latin itu dibacakan oleh mereka dalam kebaktian? Siapa yang tahu,
berapa kali mereka mengucap syukur atas harta milik mereka, yaitu Firman Tuhan?
Selama berpuluh-puluh tahun Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu
menjadi kekayaan yang paling berharga dari para biarawan di pulau Lindesfarne.
Lalu
. . . malapetaka yang sudah lama mereka khawatirkan itu tiba. Perahu-perahu panjang
berukiran naga itu terlihat lagi di lautan lepas. Maka tahulah para biarawan
bahwa penyerbu-penyerbu dari suku Viking itu sedang kian mendekat, dengan
membawa serta teror dan api kemusnahan dan muat. Mereka sempat juga menemukan
pulau Lindesfarne yang indah permai itu!
Dengan
khidmat para biarawan mengangkat Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah
itu dari tempatnya di ruang ibadah. Dengan tangan yang lembut mereka membungkusnya,
agar harta mereka itu dapat dibawa serta dalam suatu perjalanan yang
panjang. Pada suatu malam yang diterangi sinar bulan, bertolaklah mereka dengan
naik sebuah perahu kecil. Mereka merahasiakan keberangkatan mereka, agar kekayaan
mereka dapat dibawa dengan selamat ke negeri Inggris.
Setelah
mendarat, kelompok kecil dari biara itu kemudian menjelajahi negeri Inggris,
mencari suatu tempat yang aman. Mereka tidak berani kembali ke Lindesfarne,
karena pulau kecil itu telah diserbu suku Viking yang garang.
Selama
berpuluh-puluh tahun, tidak ada lagi tempat pengungsian di sana.
Bahkan
di Inggris pun rombongan pengungsi dari Lindesfarne itu dihadang bahaya.
Kaum
penyerbu dari suku Viking sewaktu-waktu menyerang pantai negara itu. Para biarawan
mengambil keputusan untuk mencari sebuah pulau lain lagi di mana mereka dapat
hidup dalam damai sejahtera serta dapat bekerja tanpa gangguan.
Lalu
mereka menaiki sebuah kapal yang akan berlayar menuju pulau Irlandia. Kecil sekali
kapal itu! Sedangkan lautan amat besar. Namun para pengungsi itu berani membawa
serta Keempat Kitab Injil yang pernah disalin dengan penuh penyerahan diri
oleh Eadfrith, almarhum kepala biara mereka.
Pada
waktu kapal itu berlayar menuju Irlandia, timbullah badai besar. Angin dan ombak
mencakar geladak dan tiang layar kepal kecil itu, serta merenggut apa saja yang
dapat ditarik hingga hanyut. Para biarawan berjuang mati-matian untuk menyelamatkan
diri mereka dari keganasan samudra. Namun keruan saja mereka menangis
tersedu sedan pada saat mereka menyaksikan harta merreka, Salinan Keempat
Kitab Injil yang Paling Indah itu, dijilat dan ditelan oleh gelombang yang
nampaknya setinggi langit.
Akhirnya
dengan susah payah kapal kecil itu berhasil kembali ke pantai negeri Ingggris.
Para biarawan mengucap syukur kepada Tuhan oleh karena mereka telah luput
dari maut. Mereka berkumpul di pantai, walau ombak masih amat tinggi. Hati mereka
penuh dengan kerinduan; mata mereka menerawang jauh ke lautan lepas .. . lautan
yang telah menelan kekayaan mereka.
Ternyata
ada benda-benda yang terapung di permukaan samudra. Ada gumpalan gelagat
laut, ada juga papan dan tambang dan layar yang terlepas dari kapal yang ditimpa
badai itu. Dan . . . ada sebuah bungkusan kecil yang tadinya termasuk
muatan kapal.
Setiap
gelombang yang ditiup angin mengangkat benda-benda yang terapung itu tinggi-tinggi
makin lama makin tinggi, sampai akhirnya semua gelagat dan papan dan
bungkusan itu terhempas keluar dari jangkauan air laut yang pasang surut.
Benda-benda
itu terdampar di atas batu-batu runcing di pinggir samudra.
Badai
telah mereda; angin bagaikan bisikan saja. Kebetulan pada hari itu air surut
secara luar biasa, sehingga seluruh pesisir seolah-olah telanjang. Maka seluruh
penduduk desa nelayan di daerah itu turun ke pinggir laut untuk mencari kalau-kalau
ada barang berharga yang terdampar di batu karang. Beserta dengan mereka turun
juga para biarawan.
Kaum
nelayan itu memang menemukan sisa-sisa tiang layar, papan-papan, dan tambang-tambang.
Mereka gembira atas harta yang telah mereka peroleh. Tetapi para
biarawan itu tidak peduli. Sangat tipis harapan mereka, namun dengan tekun mereka
menelusuri pantai yang masih basah itu.
Amboi,
. . . apa itu? Di sana nampak sebuah bungkusan, terjepit di antara dua batu
yang runcing. Sambil berseru seorang kepada yang lain, para biarawan itu mulai
berlari-lari kecil di sepanjang pantai?
Apakah
bungkusan itu hanya berisi pakaian? Ataukah barang lain? Atau . . . mungkin isinya . . . barang yang mereka cari.
Dengan
rasa ingin tahu para penduduk desa nelayan berkumpul dan memperhatikan kaum
biarawan pada saat mereka mulai membuka bungkusan itu. Tiada seorang jua di antara
mereka yang pernah melihat benda apa pun yang menyerupai isi bungkusan itu:
Tengoklah,
ada helai-helai besar terbuat dari kulit domba dan tersusun di dalam sampul
yang berkilauan dengan emas dan perak! Batu-batu permata pada sampul kitab
itu memantulkan sinar matahari; terangnya melebihi pantulan cahaya dari permukaan
laut. Dan pada halaman-halaman besar itu terlihat baris-baris tulisan hitam
yang dihiasi gambar-gambar yang semarak warnanya biru, hijau, merah, kuning
keemasan.
"Terpujilah
Tuhan Allah!" Demikianlah para biarawan berseru dalam doa. "Salinan Keempat
Kitab Injil kekayaan kita masih terselamatkan!"
"Dan
. . . masih utuh, hanya rusak sedikit saja," salah seorang biarawan menambahkan
"Lihat, hanya beberapa halaman saja yang pinggirnya ternodai karena terkena
air laut!"
Sekali
lagi Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu mulai bepergian.
Para
biarawan membawa serta harta mereka yang paling berharga itu, sambil mondar-mandir
mencari suatu tempat yang aman. Mereka tidak lagi berusaha mengantar
kitab kekayaan mereka itu ke pulau Irlandia, walau beberapa orang di antara
mereka memang pindah ke sana serta meneruskan keahlian mereka dalam membuat
salinan Kitab Suci yang sangat elok.
Akhirnya
pada suatu hari, kaum biarawan itu mencari perlindungan di sebuah biara kaum
Kristen di kota Chester. Dan di sanalah mereka mendapat tempat perhentian untuk
harta milik mereka. Para biarawan setempat melihat dengan rasa kagum akan hasil
karya Eadfrith, bapak kepala biara dulu, serta Billfrith, rahib suci yang suka
tinggal sendirian itu. Dengan penuh khidmat mereka membolakbalikkan halaman-halaman
dari Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu. Sungguh mereka
sadar bahwa hanya keahlian yang sangat tinggi serta kegigihan yang luar biasa
dapat menghasilkan suatu benda yang sedemikian eloknya.
Para
biarawan di kota Chester itu kurang terpelajar. Mereka hanya dapat berbicara
dalam bahasa Inggris kuno. Sedikit saja di antara mereka yang pandai bahasa
Latin, walau ada kerinduan besar pada mereka untuk dapat membaca Firman Tuhan
dalam bahasa kesarjanaan itu.
Maka
salah seorang biarawan itu yang bernama Aldred mengutarakan suatu gagasan baru.
Rencana itu dijelaskannya kepada kaum pengungsi dari pulau Lindesfarne. Setelah
lama berpikir dan lama berdoa, para biarawan pendatang itu menyetujui rencana
Aldred.
Pohon-pohon
buah apel mengeluarkan bunganya; lebah-lebah mendengung di padang rumput
yang harum. Namun Aldred tidak mendengar suara lebah atau mencium wangi bunga.
Ia pun tidak menghiraukan burung-burung yang berkicau, menyongsong kedatangan
musim semi.
Aldred
duduk menghadapi halaman-halaman besar yang indah itu. Di antara setiap baris
tulisan Salinan Keempat Kitab Injil itu ada tempat kosong—seolah-olah sejak
semula dimaksudkan untuk diisi dengan sesuatu. Di dalam ruang-ruang luas itulah
Aldred menulis arti dalam bahasa Inggris kuno dari setiap kata bahasa Latin.
Baris
demi baris, halaman demi halaman, Kitab Injil demi Kitab Injil semuanya disisipi
oleh Aldred dengan bahasanya sendiri, yaitu bahasa sehari-hari yang dipakai
oleh para rekannya di biara itu.
Karena
bagaimanakah pedang dan tombak akan berhenti mengamuk (demikianlah pikir Aldred),
kecuali jika Kabar Baik tentang Dia yang sanggup menyelamatkan dunia dari dosa
dan sengsara itu akan diberitakan di mana-mana? Dan bagaimanakah Kabar Baik itu
akan diberitakan, kecuali jika setiap orang dapat memahaminya dalam
bahasanya
sendiri?
Angin
badai masih tetap menghantam pantai Lindesfarne, yaitu "Pulau Suci."
Lebah-lebah
masih tetap mendengung di antara pohon-pohon buah apel di kota Chester
yang kuno. Dan di dalam suatu museum di ibu kota London, tempat bangsa Inggris
suka menyimpan harta milik mereka yang paling berharga, Salinan Keempat Kitab
Injil yang Paling Indah itu masih tetap dapat dilihat. Para pengunjung yang
datang ke sana boleh memandang dengan mata kepala sendiri kata-kata itu yang
pernah ditulis oleh Eadfrith di pulau Lindesfarne dan oleh Aldred di kota Chester,
. . . lebih dari seribu tahun yang lalu.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar