karyadim642.blogspot.com |
Athanasius lahir pada akhir abad
ke-3. Ia bergabung pada rumah tangga Aleksander, uskup Aleksandria, dan selang
beberapa waktu menjadi diaken. Ia ikut uskup Aleksander ke Konsili Nicea.
Ketika Aleksander meninggal pada tahun 328, Athanasius menggantikannya sebagai
uskup Aleksandria. Ia memangku jabatan ini selama 45 tahun dan meninggal pada
tahun 373. Hampir seluruh hidup Athanasius diabdikan untuk melawan Arianisme.
Arius telah dikutuk di Nicea, tetapi Pengakuan Iman Nicea tidak dapat diterima
oleh bagian terbesar dari kelompok Origenes di Timur. Kaisar menginginkan
persatuan di atas segala yang lain. Jadi, ia menganjurkan sikap toleransi lebih
besar tentang ortodoksi sehingga Arius dapat diajak kembali ke dalam
persekutuan gereja setelah mendapat hukuman seperlunya.
Athanasius
menolak sikap ini. Ia melihat keAllahan Yesus Kristus sebagai dasar seluruh
iman Kristen. Arianisme akan mengakibatkan tamatnya agama Kristen. Athanasius
memerangi Arianisme dengan senjata apa pun yang jatuh ke tangannya, termasuk
politik gerejawi. Sikapnya yang tidak main kompromi membuatnya tidak disenangi
baik di antara uskup maupun negarawan. Dari 45 tahun sebagai uskup, 17 tahun di
antaranya dihabiskan di lima tempat pengasingan yang berlainan. Masa
pengasingan yang paling penting adalah waktu ia di Roma dari tahun 340 sampai
346. Ini adalah saat untuk saling memengaruhi antara Athanasius dan tuan rumah.
Sesudah Roma, ia mengalami "Dasawarsa Emas", dari tahun 346 hingga
356 di Aleksandria, masa terpanjang sebagai uskup tanpa interupsi.
Athanasius tetap tegar dalam pendiriannya, walaupun mereka di sekitarnya mulai melemah. Biarpun demikian, ia tahu saatnya bersikap fleksibel. Kelompok anti-Arianisme (Gereja Barat, kelompok Antiokhia dan Athanasius) berpendapat bahwa Allah adalah satu hypostasis atau pribadi, sedangkan bagian terbesar kelompok Origenis di bagian Timur berpendapat bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi. Pada Konsili Aleksandria tahun 362 (diadakan dalam waktu singkat antara dua masa pengasingannya), diakui bahwa kedua rumusan dapat diinterpretasikan secara ortodoks. Yang terpenting adalah apa yang dipercaya, pengalimatannya kurang penting. Pengakuan ini melicinkan jalan kepada kombinasi pandangan "homoousios Nicea" (Anak Allah adalah sehakikat dengan Sang Bapa) dan pernyataan Origenes bahwa Allah adalah tiga hypostasis. Versi kombinasi ini disebarkan oleh Bapa-bapa Kapadokia dan diterima sebagai ortodoks yang tetap pada Konsili Konstantinopel tahun 381.
Athanasius adalah seorang penulis yang produktif, yang membahas berbagai soal.
Athanasius tetap tegar dalam pendiriannya, walaupun mereka di sekitarnya mulai melemah. Biarpun demikian, ia tahu saatnya bersikap fleksibel. Kelompok anti-Arianisme (Gereja Barat, kelompok Antiokhia dan Athanasius) berpendapat bahwa Allah adalah satu hypostasis atau pribadi, sedangkan bagian terbesar kelompok Origenis di bagian Timur berpendapat bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi. Pada Konsili Aleksandria tahun 362 (diadakan dalam waktu singkat antara dua masa pengasingannya), diakui bahwa kedua rumusan dapat diinterpretasikan secara ortodoks. Yang terpenting adalah apa yang dipercaya, pengalimatannya kurang penting. Pengakuan ini melicinkan jalan kepada kombinasi pandangan "homoousios Nicea" (Anak Allah adalah sehakikat dengan Sang Bapa) dan pernyataan Origenes bahwa Allah adalah tiga hypostasis. Versi kombinasi ini disebarkan oleh Bapa-bapa Kapadokia dan diterima sebagai ortodoks yang tetap pada Konsili Konstantinopel tahun 381.
Athanasius adalah seorang penulis yang produktif, yang membahas berbagai soal.
- Karya-karya anti-Arianisme. Kebanyakan karya Athanasius membahas perjuangan
melawan Arianisme. Ia memanfaatkan waktu luangnya di
pengasingan. Yang paling dikenal adalah karyanya yang terpanjang, "3
Orationes Contra Arianos" (Pidato-pidato Melawan Kaum Arian).
- Karya-karya apologia. Athanasius menulis apologia dalam dua bagian:
"Oratio Contra Gentes" (Melawan Orang Kafir) dan "De Incarnatione
Verbi" (Inkarnasi Firman). Menurut tradisi, karya ini dianggap ditulis
pada tahun 318, yaitu sebelum kontroversi Arianisme. Namun, bukti-bukti agaknya
lebih condong pada suatu tanggal selama pengasingan pertamanya antara tahun 335
dan 337.
- Surat-surat Paskah. Setiap tahun Athanasius menulis surat kepada
gereja-gereja di Mesir, yang nantinya dibaca pada hari Paskah.
Suratnya yang ke-367 itu penting karena di dalamnya untuk pertama
kali dimuat kanon (daftar kitab-kitab) Perjanjian Baru, tepat seperti yang kita
kenal sekarang. Ini merupakan hasil dari masa saling mempengaruhi waktu
Athanasius di Roma.
- "Vita S. Antonii"
(Riwayat Hidup Antonius), yang oleh Athanasius digambarkan
sebagai rahib pertama. Pada abad ke-2 dan ke-3 ada orang yang hidup sebagai
pertapa -- tidak menikah, hidup dalam kemiskinan dan mengabdikan diri dengan
berdoa dan berpuasa. Mereka tetap hidup di antara jemaat biasa dan disebut
"pertapa dalam rumah" karena mereka menjalankan hidup mereka sebagai
pertapa di rumah dan di dalam masyarakat.
Namun
pada abad ke-4, tingkat moral jemaat semakin menurun karena bertambah banyaknya
jumlah orang kafir yang bertobat dan sifat pertobatan mereka dangkal dan kurang
serius. Karena itu, orang pertapa mulai mengundurkan diri dari masyarakat.
Mereka pergi hidup di gurun-gurun Mesir dan Siria.
Seperti ditulis Athanasius, "Sel-sel muncul sampai di pegunungan dan gurun-gurun dikolonisasi oleh para rahib. Mereka datang keluar dari bangsa mereka untuk mendaftarkan diri sebagai warga surga." Di antara rahib-rahib ini ada yang hidup menyendiri (seperti Antonius) di tempat terpencil, ada yang hidup berkelompok. Ada lagi yang memilih hidup semacam kombinasi dari kedua cara hidup tersebut tadi. Karya Athanasius membantu menyebarkan cita-cita hidup kebiaraan, khususnya di dunia Barat. Ia mempunyai peranan penting dalam pertobatan Augustinus.
Athanasius berjuang begitu keras untuk pengakuan keallahan Yesus Kristus karena ia melihat bahwa keselamatan kita bergantung pada-Nya. Hanya Yesus Kristus yang ilahi, yang dapat menyelamatkan kita. Tema ini dibahas dalam buku "De Incarnatione Verbi".
Athanasius dihadapkan pada tuduhan-tuduhan dari pihak Yahudi dan kafir, bahwa inkarnasi dan penyaliban Anak Allah tidak pantas dan mengurangi martabat-Nya. Athanasius menjawab bahwa inkarnasi dan salib justru pantas, tepat, dan sangat wajar. Sebab dunia yang diciptakan melalui Dia hanya dapat dipulihkan oleh Dia. Pemulihan ini tidak bisa terjadi, kecuali melalui salib.
Kitalah yang menyebabkan Ia menjadi daging. Ia mengasihi kita sedemikian rupa untuk keselamatan kita, Ia lahir sebagai manusia .... Hanya Sang Penebus sendiri, yang pada permulaan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada, dapat mengembalikan yang bejat menjadi tidak binasa; tidak ada yang dapat menciptakan kembali orang-orang dalam rupa Allah, kecuali rupa Allah itu sendiri. Tidak lain Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah Hidup itu sendiri, yang dapat membuat yang fana menjadi kekal. Tidak satu kecuali firman, yang memerintah segala sesuatu dan yang adalah Anak yang sejati dan tunggal dari Sang Bapa, yang dapat mengajar manusia tentang Sang Bapa dan membinasakan pemujaan berhala.
Seperti ditulis Athanasius, "Sel-sel muncul sampai di pegunungan dan gurun-gurun dikolonisasi oleh para rahib. Mereka datang keluar dari bangsa mereka untuk mendaftarkan diri sebagai warga surga." Di antara rahib-rahib ini ada yang hidup menyendiri (seperti Antonius) di tempat terpencil, ada yang hidup berkelompok. Ada lagi yang memilih hidup semacam kombinasi dari kedua cara hidup tersebut tadi. Karya Athanasius membantu menyebarkan cita-cita hidup kebiaraan, khususnya di dunia Barat. Ia mempunyai peranan penting dalam pertobatan Augustinus.
Athanasius berjuang begitu keras untuk pengakuan keallahan Yesus Kristus karena ia melihat bahwa keselamatan kita bergantung pada-Nya. Hanya Yesus Kristus yang ilahi, yang dapat menyelamatkan kita. Tema ini dibahas dalam buku "De Incarnatione Verbi".
Athanasius dihadapkan pada tuduhan-tuduhan dari pihak Yahudi dan kafir, bahwa inkarnasi dan penyaliban Anak Allah tidak pantas dan mengurangi martabat-Nya. Athanasius menjawab bahwa inkarnasi dan salib justru pantas, tepat, dan sangat wajar. Sebab dunia yang diciptakan melalui Dia hanya dapat dipulihkan oleh Dia. Pemulihan ini tidak bisa terjadi, kecuali melalui salib.
Kitalah yang menyebabkan Ia menjadi daging. Ia mengasihi kita sedemikian rupa untuk keselamatan kita, Ia lahir sebagai manusia .... Hanya Sang Penebus sendiri, yang pada permulaan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada, dapat mengembalikan yang bejat menjadi tidak binasa; tidak ada yang dapat menciptakan kembali orang-orang dalam rupa Allah, kecuali rupa Allah itu sendiri. Tidak lain Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah Hidup itu sendiri, yang dapat membuat yang fana menjadi kekal. Tidak satu kecuali firman, yang memerintah segala sesuatu dan yang adalah Anak yang sejati dan tunggal dari Sang Bapa, yang dapat mengajar manusia tentang Sang Bapa dan membinasakan pemujaan berhala.
Karena
utang yang harus dibayar manusia (karena semua orang harus mati), Ia datang di
antara kita. Setelah Ia membuktikan keallahan-Nya melalui karya-Nya, Ia mempersembahkan
kurban-Nya demi kita dan menyerahkan bait-Nya (tubuh-Nya) kepada maut menggantikan
umat manusia.
Ia
melakukannya untuk membebaskan manusia dari utang dosa pertama dan untuk
membuktikan bahwa Ia lebih berkuasa daripada maut.
Ia
menunjukkan bahwa tubuh-Nya tidak dapat binasa, sebagai buah sulung kebangkitan
semua orang .... Dua mujizat terjadi sekaligus: kematian seluruh umat manusia terlaksana
dalam tubuh Tuhan, dan maut serta kebejatan dimusnahkan karena firman yang
telah menjadi satu dengan-Nya .... Melalui kematian, kekekalan menjangkau
seluruh umat manusia. Karena Firman telah menjadi manusia, maka pemeliharaan
kesemestaan bersama pencipta serta pemimpin-Nya, yaitu
firman Allah itu sendiri telah diperkenalkan.
Ia telah menjadi
manusia, agar kita menjadi ilahi; Ia menyatakan diri dalam rupa manusia, agar
kita dapat mengerti Sang Bapa yang tak kelihatan itu; Ia menanggung penghinaan
orang, agar kita dapat mewarisi hidup yang kekal.
Gagasan "deifikasi" atau "pendewaan" (menjadi ilahi) menunjukkan pengaruh Yunani dalam pemikiran Athanasius. Pengaruh ini sangat nyata dalam karya apologia, dalam dua bagian, yang bersifat pembelaan itu. Adam, sebelum jatuh dalam dosa, digambarkan sebagai filsuf Yunani -- ia merenungkan firman, yang adalah rupa Allah.
Jiwanya tidak ada hubungan dengan tubuhnya. Jiwanya mengatasi semua keinginan serta perasaan jasmani dan merenungkan "kenyataan akali". Tetapi Adam berbalik dari kenyataan akali dan mulai memikirkan tubuhnya serta perasaan-perasaannya dan dengan demikian menjadi mangsa keinginan-keinginan jasmani. Pandangan mengenai kejatuhan manusia ini lebih banyak diambil dari filsafat Yunani dan Origenes daripada dari Alkitab.
Gagasan "deifikasi" atau "pendewaan" (menjadi ilahi) menunjukkan pengaruh Yunani dalam pemikiran Athanasius. Pengaruh ini sangat nyata dalam karya apologia, dalam dua bagian, yang bersifat pembelaan itu. Adam, sebelum jatuh dalam dosa, digambarkan sebagai filsuf Yunani -- ia merenungkan firman, yang adalah rupa Allah.
Jiwanya tidak ada hubungan dengan tubuhnya. Jiwanya mengatasi semua keinginan serta perasaan jasmani dan merenungkan "kenyataan akali". Tetapi Adam berbalik dari kenyataan akali dan mulai memikirkan tubuhnya serta perasaan-perasaannya dan dengan demikian menjadi mangsa keinginan-keinginan jasmani. Pandangan mengenai kejatuhan manusia ini lebih banyak diambil dari filsafat Yunani dan Origenes daripada dari Alkitab.
Athanasius
menggunakan berbagai argumen melawan Arianisme. Argumentasinya terutama
didasari pada Alkitab. Ia mengemukakan sejumlah argumen dari Alkitab untuk
membuktikan ketuhanan Yesus Kristus. Ia juga menjawab argumen pengikut-pengikut
Arius yang diambil dari Alkitab untuk membuktikan bahwa Anak Allah adalah lebih
rendah dari Sang Bapa.
Pertama, Athanasius menjawab bahwa bagian Alkitab itu menunjuk
pada status Yesus sebagai manusia, bukan pada status kekal-Nya sebagai Allah.
Kedua, Athanasius menunjuk ibadah
Kristen pada Yesus Kristus baik pada zaman Perjanjian Baru, maupun pada zaman mereka
sendiri. Ibadah ini harus diberi arti pemujaan berhala, kalau Yesus hanya suatu
makhluk.
Ketiga, Athanasius mengemukakan bahwa hanya
Allah mampu menyelamatkan kita -- argumen ini dipakainya dalam karyanya
"De Incarnatione Verbi". Dan terakhir, ia memakai argumen-argumen
filsafat -- misalnya, bahwa Allah tidak pernah bertindak tidak rasional tanpa
Akal atau Firman-Nya.
Sekiranya Ia [Firman] hanya makhluk, orang tidak akan beribadah kepada-Nya dan Ia tidak pula dibicarakan [dalam Alkitab]. Tetapi kenyataannya adalah bahwa Ia adalah turunan sejati dari hakikat Allah yang disembah. Ia adalah Anak Allah menurut tabiat-Nya dan bukan makhluk. Oleh sebab itu, Ia disembah dan diyakini sebagai Allah. Sinar matahari benar bagian dari matahari, toh hakikat matahari tidak terbagi atau dikurangi oleh karenanya. Hakikat matahari adalah lengkap dan sinarnya sempurna dan lengkap. Sinar-sinar itu tidak mengurangi hakikat terang, namun adalah turunannya yang sejati. Demikian pula kita ketahui bahwa Anak diperanakkan bukan di luar Sang Bapa, tetapi dari Allah Bapa sendiri. Allah Bapa tetap lengkap, sedangkan "gambar wujud-Nya" [Ibr. 1:3] adalah kekal serta menjaga persamaan-Nya dengan Allah Bapa dan rupa-Nya yang tak berubah.
Sekiranya Ia [Firman] hanya makhluk, orang tidak akan beribadah kepada-Nya dan Ia tidak pula dibicarakan [dalam Alkitab]. Tetapi kenyataannya adalah bahwa Ia adalah turunan sejati dari hakikat Allah yang disembah. Ia adalah Anak Allah menurut tabiat-Nya dan bukan makhluk. Oleh sebab itu, Ia disembah dan diyakini sebagai Allah. Sinar matahari benar bagian dari matahari, toh hakikat matahari tidak terbagi atau dikurangi oleh karenanya. Hakikat matahari adalah lengkap dan sinarnya sempurna dan lengkap. Sinar-sinar itu tidak mengurangi hakikat terang, namun adalah turunannya yang sejati. Demikian pula kita ketahui bahwa Anak diperanakkan bukan di luar Sang Bapa, tetapi dari Allah Bapa sendiri. Allah Bapa tetap lengkap, sedangkan "gambar wujud-Nya" [Ibr. 1:3] adalah kekal serta menjaga persamaan-Nya dengan Allah Bapa dan rupa-Nya yang tak berubah.
Athanasius juga yang pertama-tama secara serius mempelajari status Roh Kudus. Hingga pertengahan abad ke-4 perhatian tertuju pada hubungan Allah, Bapa, dan Anak. Sebutan singkat "Dan kepada Roh Kudus" dalam Pengakuan Iman Nicea adalah bukti betapa sedikit perhatian yang diberikan kepada Roh Kudus. Namun, pada tahun 359/360 Athanasius terpaksa memerhatikan soal ini. Suatu kelompok di Mesir, yang kurang jelas asal mulanya dan disebut Tropici, mengajarkan bahwa Sang Anak adalah Allah, tetapi Roh Kudus diciptakan dari yang tidak ada. Dalam hal Anak, mereka bertolak dari Pengakuan Iman Nicea, sedangkan dalam hal Roh Kudus mereka mengikuti Arianisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar