Minggu, 04 Agustus 2013

PENAMBANG EMAS

Gunung-gunung menjulang tinggi di atas gubuk tempat tinggal Jan, si penggali tua. Pada musim dingin, salju bertumpuk-tumpuk di mana-mana dan angin kencang melolong di sepanjang ngarai, menerjang dahan-dahan pohon cemara.
 
Penggali tua itu mungkin pergi menambang pada musim dingin. Selama ada tumpukan salju di mana-mana, Jan suka duduk di rumah dan mengenang negeri Finlandia, tempat ia lahir dan dibesarkan. Ia teringat akan sinar matahari yang dulu berkilauan dan pada salju yang putih bersih. Ia juga teringat akan anak-anak yang dulu berkilauan pada salju yang putih bersih. Ia juga teringat akan anak-anak yang dulu memakai ski pada kaki mereka sambil meluncur kencang pada lereng curam yang berlapis salju.

Ya, pada malam-malam yang gelap selama musim dingin, Jan suka mengenang rumah orang tuanya dulu di Filandia. Dengan menutup matanya, ia dapat membayangkan sosok ayahnya yang gagah serta ibunya yang manis; mereka duduk di dekat tempat perapian, dengan anak-anak mereka berkumpul di sekelilingnya. Hampir-hampir Jan dapat mendengar suara ayahnya yang rendah dan empuk sedang membacakan Alkitab milik pusaka keluarganya.

Pada saat-saat lamunannya seperti itu, Jan suka bangun dari kursinya pergi ke sebuah peti, dan membuka tutupnya. Dari dalam peti itu ia mengeluarkan satu-satunya harta miliknya: Sebuah Alkitab besar dalam bahasa Filandia, yang telah dihadiahkan oleh ayahnya dulu pada hari ia berangkat dari rumahnya menuju ke Amerika.

Di bawah sinar yang remang-remang dari sebuah lampu minyak tanah, Jan menelusuri kata-kata Kitab Suci. Jari-jarinya yang sudah kisut itu mengikuti baris-baris cetakan pada halaman Alkitabnya.

Sesungguhnya para tokoh Alkitab itu sudah menjadi teman-teman bagi Jan dalam gubuknya yang sepi. Ia suka membaca dengan keras, dalam bahasa Filandia yang masih dicintainya sejak masa kecilnya dulu. Ada kalanya ia membaca ajaran-ajaran Tuhan Yesus, ada kalanya pengalaman - pengalaman Rasul Paulus yang menggemparkan. Ada kalanya ia membaca puisi yang luhur dari Kitab Mazmur, ada kalanya kisah-kisah kepahlawanan dari zaman Perjanjian Lama.

Jan tidak pernah pergi ke gereja. Namun ia setia membaca Alkitabnya. Dan ia pun berdoa dengan cara yang telah diajarkan oleh ibunya, berpuluh-puluh tahun sebelumnya.

Hidupnya serba sederhana. Jan tidak mau bekerja pada suatu perusahaan
pertambangan yang besar. Ia lebih suka pergi mencari nafkah sendirian ke gunung, menggali-gali tanah dengan harapan dapat menambang cukup banyak logam berharga. Kadang-kadang ia menemukan sedikit bijih tembaga, kadang-kadang sedikit bijih perak. Hasil penjualan apa yang digalingnya itu hanya sekedar untuk menyambung hidupnya. Ia belum pernah berhasil menjadi seoran kaya dengan menambang emas.

Namun Jan merasa puas. Ia bersifat jujur dan baik hati dalam segala
perbuatannya. Dan ia selalu rela menolong tetangga-tetangganya.

Pada suatu hari, ketika Jan sedang menggali di dalam ngarai yang jauh dari tempat tinggalnya, gubuknya itu kebakaran. Tidak ada seorang yang sempat memadamkannya; bahkan tidak ada seorang pun yang tahu.

Pada saat Jan kembali dengan menuntun keledainya yang kecil, ia berdiri terpana.
Gubuknya musnah! Yang tertinggal hanyalah tumpukan kecil arang dan abu. Barang-barang miliknya memang hanya sedikit, namun tidak ada satu pun yang tersisa.

Mula-mula Jan melongo saja, tidak percaya. Lalu ia berlari menuju tumpukan arang yang masih mengepulkan asap itu. Petinya! Mungkin petinya masih terluput dari nyala api.

Akan tetapi . . . tidak demikian. Petinya pun musnah dengan semua isinya.

Air mata mulai meleleh di pipi Jan. Petinya pun musnah dengan semua isinya karena gubuknya musnah: Ia sendiri dapat membangun sebuah rumah yang baru. Bukan pula karena selimutnya dan pancinya dan piringnya habis ditelan api: Ia dapat membelinya lagi, karena ia masih mempunyai uang tabungan di bank desa di lembah yang tiga kilometer jauhnya itu.

Bukan! Jan menangis karena satu-satunya harta miliknya musnah: Alkitabnya dalam bahasa Filandia.

Tidak ada orang Amerika yang berbahasa Filandia. Tidak ada toko di Amerika yang menjual buku dalam bahasa Filandia. Alkitab yang sudah musnah tak mungkin dapat diganti.

Jan memang berhasil membangun sebuah gubuk baru. Tetapi ia tidak jadi pergi membeli perlengkapannya. Banyak tetangganya sudah lama mengenal dan mengasihi penggali tua itu. Merekalah yang berdatangan, membawa serta selimut dan panci dan piring, serta meja dan kursi yang kasar; mereka bahkan membawa sebuah tungku api dan sebuah lampu minyak tanah.

"Mengapa tidak?" kata mereka satu kepada yang lain. "Pak Jan sudah menghabiskan masa hidupnya di daerah ini dengan berbuat baik. Coba ingat, berapa kali ia pergi membantu orang yang terkurung dalam rumahnya karena salju yang lebat, atau ia membelahkan kayu bakar bagi orang yang sakit, ataupun ia membatu tetangganya dengan suatu tugas yang terlalu berat untuk dikerjakan seorang diri."

Maka Jan membenahi rumahnya yang baru serta mulai hidup agak sama seperti dulu. Tetapi ada sesuatu yang tidak sama seperti dulu. Kalau salju mulai turun di musim dingin dan pikirannya menerawang jauh ke masa kecilnya di Finlandia, ia tidak dapat lagi meraih Alkitabnya. Menyalakan lampu juga percuma saja: Tidak ada Alkitab yang dapat dibacanya.

"Na, na, terlalu sulit aku baca bahasa Inggris," Jan menjelaskan kepada penduduk desa di lembah itu yang ingin membelikan sebuah Alkitab baru baginya. "Ya, ya, terlalu banyak kata aku tidak tahu apa artinya. Tidak sama. Sama sekali tidak sama. Hanya dalam bahasa Filandia Alkitab dapat berkata-kata dalam lubuk hatiku. Dan Filandia kan jauh sekali di seberang. Tak mungkin aku pergi ke sana beli Alkitab baru."

Tiap kali Jan turun ke desa di lembah itu untuk membeli bekal, ia selalu mampir di rumah keluarga Blake. Si Clara Blake menjadi kesayangannya di antara semua anak kecil di desa itu.

Pada suatu hari, ketika Jan sedang menambat keledainya di depan rumah keluarga Blake. Si Clara keluar sambil menari-nari kegirangan. "Pak Jan! Pak Jan! Rasanya aku tahu dari mana Pak Jan bisa mendapat Alkitab bahasa Filandia!" serunya. "Nih, coba lihat! Aku diberi ini di Sekolah Minggu."

Si Clara menggenggam sebuah lembaran. "Nih lihat!" katanya dengan penuh semangat. "Ada ayat Alkitab, dicetak dalam macam-macam bahasa."

Jan meraih lembaran itu. Betul, ada banyak bahasa yang dipaparkan di situ.

Si Clara bersandar pada sisi Jan sambil menuding pada halaman kecil itu dengan telunjuknya. "Bahasa Tionghoa," bacanya. "Bahasa Jepang. Bahasa Belanda. Bahasa Italia." Mereka berdua terus menyelidiki isi lembaran itu.

"Ah!" Tiba-tiba Jan bernapas panjang. "Ini dia! Ini dia!"

Ia sudah menemukan ayat itu yang tercetak dalam bahasa Filandia. Berkali-kali Jan membaca ulang kata-kata itu, yang sejak dahulu masih diingatnya baik-baik. Dalam bahasa ibunya, kata-kata itu (yang kelihatannya aneh-aneh pada mata si Clara) menyatakan berita yang indah, sama seperti Yohanes 3:16 dalam bahasa apa saja:

"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tungal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."

"Sama!" kata Jan; mukanya berseri-seri. "Persis sama seperti dalam Alkitabku
dulu!"

Lalu senyumannya itu pudar. "Tapi cuma satu ayat. Memang indah, tapi cuma satu ayat."

Clara membalik lembaran itu. "Pak Jan, mari kita menulis surat ke alamat ini," usulnya. "Mungkin di sana ada Alkitab lengkap dalam bahasa Filandia."

Ibu si Clara yang menuliskan surat itu untuk Jan. Tetapi si Clara sendirilah
yang rajin memeriksa kotak pos. Hari demi hari ia meneliti tiap surat yang
masuk.

Akhirnya ada surat yang datang dengan "Lembaga Alkitab Amerika, New York" sebagai alamat si pengirim. Surat itu disimpan baik-baik untuk Jan. "Mengapa Pak Jan tidak datang-datang?" tanya si Clara hari demi hari.

Setelah lewat hampir satu minggu, Baru Jan muncul kembali. Seluruh keluarga Blake berdiri disampingnya ketika si penggali tua itu membuka suratnya.

Betul, katanya, sebuah Alkitab dalam bahasa Filandia dapat dipesan, demikianlah pemberitahuan dalam surat itu. Terlampir juga penjelasan tentang harga, dan tentang cara mengirim pesanan.

Keesokan harinya, sepucuk surat balasan sudah dikirim ke kota New York, dan sebuah poswesel sudah dibeli di kantor pos desa.

Tidak lama kemudian, tibalah sebuah pospaket untuk Jan. Pak dan Ibu Blake, si Clara, dan semua tetangga mereka berkumpul untuk melihat penggali tua membuka pospaketnya itu. Tangannya yang sudah kisut itu terlihat masih kuat pada saat ia memutuskan tali pospaketnya dan menyobek bungkusannya. Lalu ia pun mulai membuka dos kecil yang ada di dalamnya. Si Clara menahan napas.

Ah! Ada harta di dalam dos itu: Seluruh Firman Tuhan dalam bahasa Filandia.

Tangan Jan gemetar sedikit ketika ia mengangkat Buku itu dari dosnya. Dibukanya Kitab Mazmur, . . . lalu Injil Matius, . . . lalu Kisah Para Rasul.

"Sama! Persis sama! Semuanya sama!" bisiknya.

Lalu ia melihat ke sekelilingnya. Wajah-wajah para tetangganya berseri-seri semuanya. "Sepanjang umur, aku ingin menambang emas," kata Jan. "Kalau dapat menggali emas, aku jadi kaya." Lalu senyumannya menjadi lebih lebar lagi. "Nah,ini dia! Aku sudah menambang emas! Harganya lebih dari apa saja yang dapat kugali di lereng gunung sana!"

Dibungkusnya kembali hartanya itu! Dimuatnya pada punggung keledai kecilnya,bersama dengan semua bekal yang baru dibelinya.

Clara Blake dan orang tuanya melihat si penggali tua itu mendaki jalan yang sempit. Pelan-pelan ia menuju gubuknya yang sepi, di ngarai di balik bukit.


Pada malam itu, mereka tahu bahwa Jan pasti akan menyalakan lampunya. Ia akan merapatkan kursinya ke meja. Dan ia akan meletakkan hartanya yang baru di atas meja. Jari-jarinya akan mengikuti baris demi baris dari pasal-pasal kesayangannya. Dan si penggali tua itu dengan senang hati akan membaca dengan keras kata-kata indah itu yang dikiranya sudah kehilangan selamanya dari pandangan matanya.